Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melukis ibarat Memancing

Kompas.com - 11/03/2012, 04:34 WIB

OLEH BRE REDANA

Fang Lijun kembali berpameran tunggal di Jakarta. Bagi yang mengenal perjalanan perupa tokoh penting dalam ”Chinese avant-garde” itu, karya-karyanya yang digelar kali ini mengejutkan. Pameran diselenggarakan sebagai inaugurasi gedung baru CP Foundation, Sabtu, 3 Maret lalu.

Mengejutkan, karena kesederhanaannya. Sebagian besar karya yang dipamerkan dibuat dalam kanvas berukuran kecil, bervariasi sekitar 40 x 50 cm, atau perbandingan-perbandingan lain kurang dari satu meter. Pada kanvas kecil itu pula ia mengabadikan momen-momen sesaat yang sederhana, bagian dari keseharian kita, misalnya ikan hasil tangkapan di laut, disusul rangkaian berikut ikan di atas piring disertai bumbu siap dimasak, terus sang ikan terhidang di piring seperti gambar di menu restoran, dan seterusnya.

Karya-karya itu tak diberi judul. Hanya terdapat keterangan mengenai tahun pembuatan—rata-rata dua-tiga tahun belakangan. Tentang hal ini, Fang Lijun yang datang ke Jakarta bersama teman perupanya, Zhou Chunya, mengatakan ia hanya ingin menunjukkan karya-karya terakhirnya. Karya-karya itu, termasuk lukisan pada kanvas kecil berisi gambar-gambar ikan tadi, katanya, belum selesai rangkaiannya. Masih akan ada penambahan, di mana kalau semuanya lengkap, karya tersebut akan menyerupai karya instalasi yang besar rangkaiannya.

Pendekatan serupa dilakukan terhadap rangkaian gambar lain, kali ini proses penanganan pembedahan terhadap pasien. Pada satu kanvas terlihat misalnya detail kulit yang tampak tak sehat. Pada kanvas lain peralatan bedah, gunting dan capit operasi. Ada obat, ada wajah yang diinfus, ada tim dokter mengoperasi, ada daging yang dikoyak-koyak gunting operasi, dan seterusnya.

Itu pun, kata Fang, belum jadi. Rangkaian akan lebih besar lagi. Ditanya mengapa dia tidak lagi melukis dengan kanvas raksasa seperti dikenal sebelumnya, ia menjawab karya-karya ini nantinya akan menjadi instalasi besar. Bedanya, kalau dulu dalam satu kanvas ukuran besar ia sudah mendapatkan imajinasi visual secara utuh untuk tema yang digarapnya, kali ini ia mengobservasi kemungkinan setiap detail terlebih dahulu. Hasil keseluruhan karya adalah rangkaian dari observasi setiap detail.

Memancing

Berbincang lebih jauh dengan Fang, di situ kita bisa membaca tahap lebih lanjut dari kematangan pelukis ini. Tadinya, Fang dikenal dengan lukisan-lukisan berukuran besar, berbentuk realis, menyembunyikan pesan politis (satu karya seperti itu disertakan sekarang). Karya-karya yang diungkapkan sejumlah pelukis China seangkatan Fang ini sering disebut sebagai cynical realism. Menurut kritikus China, Li Xianting, itu merupakan perkembangan seni rupa China setelah zaman Mao. Dia menyebut dengan istilah ”Post ’89 New Wave”, dengan tokohnya antara lain Fang Lijun. Pada era ini pula seni rupa kontemporer China masuk dalam orbit perdagangan seni rupa internasional. Seni rupa China mengalami booming, yang efeknya dirasakan karya-karya kontemporer di kawasan Asia, termasuk Indonesia. Mereka terbawa lokomotif China dalam kancah perdagangan seni rupa internasional.

Gejala terakhir itu, dalam pemikiran akademik, terutama dalam mazhab historisisme, bisa disebut sebagai ”kesempatan sejarah”. Ini untuk meluruskan pemikiran bahwa seni rupa kontemporer Indonesia bisa punya tempat cukup penting dalam percaturan internasional seperti sekarang, seolah karena jasa orang per orang. Lebih khusus lagi, seperti terungkap dalam majalah artasiapacific edisi Maret/April 2012, seolah seni rupa kontemporer Indonesia sangat berutang pada kolektor.

Sekali lagi, dalam pandangan mazhab historisisme, itu salah kaprah. Pada satu perkembangan kebudayaan, karena kesempatan sejarah, semua pihak ambil bagian. Ya perupa, galeri, balai lelang, kurator, art dealer, dan tentu saja kolektor. CP Foundation yang dulu bernama CP Artspace, misalnya, sudah membawa perupa-perupa Indonesia untuk berpameran di Washington DC sejak tahun 2001. Ia juga menggelar biennale internasional di Jakarta, sebelum putus asa gara-gara keributan pada biennale kedua tahun 2005. Biennale kali itu diributkan karena ada obyek telanjang. Toh dengan sejumlah aktivitasnya tadi, CP Foundation tidak pernah mengklaim diri sebagai paling berjasa dalam perkembangan seni kontemporer? Itu namanya waras.

Pembukaan galeri baru CP Foundation di Jalan Suryopranoto dengan menghadirkan Fang Lijun rasanya tepat (tahun 2006 mereka pernah memamerkan Fang di Galeri Nasional). Fang telah melangkah ke tahap berikut dalam fase keseniannya: melampaui gagasan-gagasan politik.

Ia menuju ke-sejati-an, dengan kesederhanaannya. Baginya sekarang, melukis seperti orang memancing, membuang kail di laut. Ia tak tahu dan tak peduli ikan apa yang bakal dia dapat. Yang muncul itulah nanti yang ia nikmati.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com