Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengelola Tambang, Mengelola Negara

Kompas.com - 16/03/2012, 02:13 WIB

Oleh RATNA SRI WIDYASTUTI

Bisa mengundang investor dan menghasilkan uang bukan tanda Indonesia berhasil mengelola pertambangannya. Negara lain banyak yang lebih berhasil daripada Indonesia dalam mengelola kekayaan tambangnya. Agar tidak salah urus, negeri ini jangan tabu belajar dari pengalaman negara lain yang terbukti efektif.

Selama ini Indonesia didengungkan sebagai negara kaya tambang. Berbagai mineral, batubara, hingga minyak dan gas bumi di perut bumi negeri ini dikeruk serta sebagian besar dijual ke luar negeri. Batubara, misalnya, hanya 23 persen produksinya dikonsumsi domestik. Begitu pula dengan gas alam cair (LNG), yang ekspornya mencapai 99 persen.

Meski prestasi ekspor terbilang baik dan bisa meningkatkan penerimaan negara, soal perhitungan bagi hasil yang berkeadilan, manfaatnya bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian lingkungan masih jauh dari harapan.

Dibandingkan dengan sektor lain, pemasukan devisa dari ekspor mineral, batubara, dan migas memang paling besar. Seperempat hingga sepertiga total penerimaan negara berasal dari usaha pertambangan.

Aliran uang ke kas negara dari kegiatan pertambangan secara umum bisa melalui dua pos, yakni pos penerimaan pajak dan pos penerimaan bukan pajak. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terkait dengan pertambangan selama ini menunjukkan kecenderungan meningkat. PNBP dari migas meningkat sekitar 15 persen per tahun selama 2005 hingga 2010. Sementara itu, pertumbuhan PNBP sektor pertambangan lainnya meningkat rata-rata 41,5 persen per tahun.

Tak hanya Pemerintah Indonesia yang menikmati. Kalangan swasta yang terlibat juga mendapat keuntungan besar. Para pemilik modal pun semakin banyak tertarik terjun ke sektor primer ini. Realisasi investasi dalam negeri tumbuh rata-rata 700 persen selama lima tahun terakhir, terutama di sektor batubara.

Investasi asing juga meningkat pesat. Realisasi penanaman modal asing meningkat rata-rata 185 persen per tahun. Jika dibandingkan, besar investasi di kegiatan ini hampir 19 persen dari total investasi asing di Indonesia.

Negara lain

Meski sektor pertambangan menjadi penopang pendapatan negara, Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara lain, antara lain dalam hal penerimaan negara.

Pemasukan negeri ini masih bisa dipacu jika bisa meniru langkah Brasil. Negeri di Amerika Selatan ini meminta 85 persen pendapatan pertambangan untuk negara dan sisanya untuk kontraktor.

Venezuela bahkan lebih berani. Semua perusahaan tambang emas dimiliki negara untuk digunakan bagi kepentingan rakyat.

Dana yang sudah dikantongi harus dimanfaatkan dengan baik dan berorientasi jangka panjang. Pemerintah Australia bisa menjadi contoh karena menggunakan uang hasil pajak dari sektor pertambangan untuk diinvestasikan kembali dalam bentuk penyediaan infrastruktur dan sumber daya lain. Dengan cara ini, hasil tambang yang merupakan salah satu pemasukan utama Australia bisa dinikmati seluruh warga dan mendukung pertumbuhan ekonomi Australia secara berkelanjutan.

Dominasi pihak asing dalam jangka panjang bukanlah hal baik. Sebab itu, Norwegia mewajibkan transfer teknologi dalam jangka 16 tahun sejak kesepakatan ditandatangani. Hasilnya, negara ini masuk ke jajaran negara yang unggul dalam eksplorasi mineral dan pengeboran gas di lautan dalam.

Menghemat cadangan

Indonesia juga dapat mempertimbangkan strategi yang tepat untuk menjaga kekayaan alam. Ada beberapa negara yang memiliki cadangan barang tambang di daerahnya, tetapi memilih mengimpor. Pertimbangan biaya produksi di dalam negeri yang lebih mahal mendorong mereka mengimpor komoditas pertambangan, terutama terkait dengan energi. Kelompok negara ini menganggap harga komoditas tambang di pasar internasional relatif lebih murah.

China, misalnya. Negeri ini diperkirakan memiliki cadangan batubara 114,5 miliar ton, yang cukup untuk suplai kebutuhan domestik. Namun, negara besar ini tetap membeli batubara dari pasar internasional karena alasan efisiensi. Sebagian besar pabrik yang butuh batubara berada di pantai, sementara pertambangan ada di pedalaman. Selain itu, rendahnya kualitas produk, banyaknya kecelakaan di area pertambangan, dan isu lingkungan juga menjadi penghambat produksi emas hitam dari dalam negeri.

Kondisi ini setali tiga uang dengan Kanada. Negara ini memiliki simpanan batubara terbesar nomor sepuluh di dunia. Hingga saat ini, Kanada masih membeli batubara dari negara lain. Alasannya, lokasi persediaan batubaranya ratusan hingga ribuan kilometer dari pusat industri dan pelabuhan, yang membuat biaya pengangkutan mahal. Hasilnya, persediaan batubara belum tersentuh dan lingkungan pun terjaga.

Selain batubara, Kanada juga memiliki cadangan pasir minyak dalam jumlah besar dan baru sebagian kecil dieksplorasi karena pertimbangan sama.

Dari sisi ekonomi, sikap Kanada dan China lebih menguntungkan ketimbang memilih menjadi eksportir. Dua negara ini mendapat bahan tambang dengan harga relatif rendah, cadangan bahan tambang tetap aman, dan lingkungan terjaga.

Ketika nanti batubara dan minyak milik mereka dapat diproduksi dengan biaya murah karena teknologi dan infrastruktur semakin baik, betapa gemuknya laba yang akan diperoleh di masa mendatang.

Pada saat itu, cadangan komoditas tambang utama Indonesia bisa jadi sudah tipis. Penerimaan kas negara pun menyusut karena sang penopang pemasukan utama makin berkurang.

Infrastruktur yang ada pun tak memadai mendukung sektor nonpertambangan maju jika pemerintah tak menginvestasikan hasil penerimaan tambang untuk prasarana. Sementara itu, sebagian besar keuntungan hasil ekspor sudah menguap ke negara asal investor asing.(Litbang Kompas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com