Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan bagi Orang Berkebutuhan Khusus

Kompas.com - 22/03/2012, 03:02 WIB

Oleh Dahlia Irawati

Tidak ada orang yang meminta menjadi cacat. Namun, menjadi penyandang cacat pun bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa. Sapto Yuli Isminarti, misalnya. Meskipun cacat, dia bisa menjadi penerang hidup bagi teman-teman berkebutuhan khusus lainnya.

Kalau bukan saya, siapa lagi yang akan peduli dengan teman-teman cacat ini? Saya paham benar bagaimana sulitnya menjadi penyandang cacat. Orang cacat masih dipandang sebelah mata dan tidak dipercaya. Kalau sudah begini, bagaimana orang cacat bisa bertahan hidup?” kata ibu tiga anak itu.

Berbekal tekad menyejahterakan teman-teman penyandang cacat, Yuli menampung 36 penyandang cacat tinggal bersama keluarganya. Keberanian menampung puluhan teman cacat itu muncul setelah dia menikah. Tepatnya, setelah seringnya mereka berkumpul di rumah kontrakan Yuli untuk sekadar berbagi pengalaman.

Mereka berbagi kepedihan bagaimana sulitnya mencari kerja, bagaimana harus menerima hinaan dan tekanan banyak pihak, dan kekhawatiran akan masa depan mereka kelak. Sosok Yuli yang kuat dianggap teman-temannya mampu menjadi pelipur lara.

Tahun 1996 atau dua tahun setelah Yuli menikah, dia dan 10 penyandang cacat, yang biasa berkumpul, memberanikan diri berjualan kue dan rempeyek. Usaha ini berjalan meski hasilnya belum terlalu maksimal.

Biaya hidup Yuli bersama 10 orang yang ditampungnya tak mampu dipenuhi dari hasil berjualan penganan tersebut. Jatuh-bangun, meminjam uang sana-sini, dan tak bisa makan menjadi hal biasa bagi mereka kala itu. Untuk memulangkan 10 temannya, ia tak tega. Alasannya, rata-rata mereka berasal dari keluarga kurang mampu.

Kedok

Tahun 2003 Yuli bertekad agar teman-temannya bisa mempunyai tempat tinggal yang layak. Dia menerima tawaran salah satu sekolah luar biasa (SLB) untuk tinggal di SLB tersebut. Awalnya Yuli dan 10 temannya menganggap tawaran itu bak siraman air di tengah dahaga berkepanjangan.

Namun, semakin lama iming-iming mendapat pendidikan formal dan makan gratis terasa hanya kedok. Mereka diajak mencari sumbangan dana kepada donatur. Di asrama SLB itu mereka tak diberi makan dan hidup dalam gelap karena listrik dimatikan dengan alasan penghematan.

Merasa masa depan mereka tak bakal cerah jika tetap di SLB itu, tahun berikutnya Yuli dan 10 temannya memutuskan keluar dari SLB. Sebagian temannya pulang ke keluarga masing-masing. Tersisa tiga teman yang bertahan bersama Yuli dan keluarga.

Sejak saat itulah Yuli dan ketiga temannya tersebut berusaha mencari pekerjaan dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu. Mereka bergantung hidup dari uang hasil servis elektronik kecil-kecilan. Keterampilan itu diperoleh mereka di Panti Sosial Bina Daksa Suryatama Bangil, Jawa Timur.

Pencarian kerja tak berjalan mulus. Meski di depan pintu kantor yang mereka datangi dipasang pengumuman lowongan kerja, begitu tahu pelamarnya penyandang cacat, pengusaha yang bersangkutan menolaknya.

Pada tahun 2004 Yuli dan temannya bertemu pengusaha sulam asal Sidoarjo. Pengusaha itu memberi mereka kesempatan belajar menyulam, memberi order sulam, kemudian memperkenalkan mereka dengan dunia bisnis.

Hasil order itu membuat Yuli mampu mempekerjakan 50-an penyandang cacat dan orang normal. Namun, usaha milik pengusaha Sidoarjo itu bangkrut, kerja sama pun tak berlanjut.

Kegagalan kerja sama itu membekaskan lara mendalam bagi Yuli. Saat mencoba bangkit, ia ditipu pengusaha lain yang hanya memanfaatkannya untuk memasarkan dagangan mereka.

Setelah sempat putus asa karena kehabisan modal, Yuli dan teman- teman, dibantu beberapa orang lain, kembali bangkit. Mereka menyulam dan mengikuti pameran pada akhir 2006 dalam acara Bangil Kota Bordir (Bangkodir) I.

Sukses di pameran, Yuli dengan payung Kelompok Usaha Bersama (Kube) Anggrek memperkenalkan produk sulaman mereka pada Inacraft 2007. Tahun itu pula ia membawa produk teman-teman cacatnya hingga tiga kali pameran, dan sukses hingga kini.

Modal

”Kini bukan sulit mencari pekerjaan yang kami pikirkan. Kami kesulitan memenuhi order karena tenaga kerja kurang dan modal tidak banyak. Apalagi setiap bulan kas kami selalu minus, minimal Rp 5 juta, hanya untuk membiayai makan teman- teman,” ujarnya.

Dia menampung 36 penyandang cacat di rumahnya. Mereka mendapat gaji minimal Rp 500.000 per orang sebagai upah menyulam. Kebutuhan makan mereka pun ditanggung Yuli.

Perempuan lulusan SMA itu sengaja menanggung kebutuhan makan teman- temannya agar upah menyulam bisa digunakan sepenuhnya untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Ini termasuk untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka dalam keluarga masing- masing.

”Hal yang saya pikirkan sekarang, bagaimana menjalankan usaha ini agar tidak memulangkan mereka. Kalau mau, mungkin saya bisa kaya dengan banyaknya order, yang bahkan belum bisa kami penuhi saat ini. Namun, saya tidak ingin berhasil sendiri tanpa teman- teman cacat lainnya,” ujar Yuli.

Yuli dan 36 teman penyandang cacat bertahan hidup dengan menggali dan menutup ”lubang”. Untuk menambah modal, mereka tidak sanggup meminjam ke bank karena ketiadaan agunan. Bagaimanapun kondisinya, Yuli bertekad mereka harus bisa keluar dari kesulitan itu.

Tahun 2009 mereka bisa bernapas lega karena mendapat hibah tanah dari seorang pengusaha asal Pasuruan sekitar 3 hektar. Ke depan, Yuli bercita-cita membangun semacam tempat kerja, asrama, dan kalau mungkin ruang pamer untuk berbagai produk mereka.

Namun, semua keinginan tersebut belum terlaksana karena terganjal modal usaha. ”Semua pemberi dana butuh agunan kalau kami ingin mendapatkan kredit. Kami tidak memiliki harta untuk agunan yang diminta. Semoga ke depan kami bisa mendapatkan jalan keluar yang terbaik,” ujar Yuli yang terus menularkan ilmu menyulamnya dari satu kota ke kota lain dan kepada siapa saja yang memintanya.

Tujuan Yuli hanya satu, menjadikan teman-teman penyandang cacat bisa mandiri dan membuka usaha sendiri. Yuli, laksana penerang jalan bagi teman-teman penyandang cacat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com