Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ancaman terhadap Ideologi dan NKRI

Kompas.com - 26/03/2012, 02:05 WIB

Ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 tidak hanya berupa agresi Belanda, tetapi juga berbagai tekanan politik Belanda kepada pemimpin dan rakyat Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda terus berupaya memecah dan merebut NKRI, misalnya dengan membentuk negara bagian atau negara ”boneka”.

Dengan adanya negara bagian dan politik memecah belah, kepentingan dan kekuatan politik lokal juga muncul. Sayangnya, kepentingan dan kekuatan politik lokal yang muncul tidak mendukung upaya mempertahankan kehidupan bangsa Indonesia sebagai ”nation” dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diperjuangkan para pendiri bangsa.

Kepentingan dan kekuatan politik lokal yang didukung dengan kekuatan bersenjata justru menjadi duri dalam selimut. Misalnya, gerakan Darul Islam (DI) yang dipimpin Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Dalam buku Sukarno, Bapak Bangsa Indonesia karangan Darmawan MM, dijelaskan, ketika pemimpin negeri ini ditangkap Belanda, Kartosuwiryo menganggap NKRI sudah tak ada dan sebagai gantinya ia akan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).

Pemimpin RI ditangkap Belanda di Yogyakarta, ibu kota negara waktu itu, pada 22 Desember 1948. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Pemerintah Kota Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Akhmad Elvian, pemimpin RI diasingkan dan dibawa dari Yogyakarta ke Pangkal Pinang dengan pesawat B-29.

Pemimpin RI yang ditangkap dan diasingkan itu adalah Presiden Soekarno, Wakil Presiden Muhammad Hatta, Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat Asaat, Sekretaris Negara AG Pringgodigdo, Kepala Staf Angkatan Udara Soerjadharma, Haji Agus Salim, dan Sutan Sjahrir.

Akan tetapi, setiba di bandara Kampung Dul (Bandara Depati Amir sekarang), hanya Hatta, Asaat, Pringgodigdo, dan Soerjadharma yang diturunkan Belanda di Pangkal Pinang dan diasingkan di Pesanggarahan Menumbing di Gunung Menumbing, Muntok. Soekarno, Haji Agus Salim, dan Sutan Sjahrir melanjutkan perjalanan ke Berastagi dan Prapat, Sumatera Utara. Soekarno dan Agus Salim baru diasingkan Belanda ke Pesanggrahan Muntok pada 5 Februari 1949.

Dalam pengasingan itu, Soekarno dan Hatta tetap memperjuangkan agar NKRI tetap utuh. Indonesia sebagai sebuah ”nation” tetap berdaulat. Dalam pengasingan, Soekarno tetap menjalankan perjuangan politik dan misi diplomatik. Sebagai contoh, kata Akhmad Elvian, Soekarno bertemu dengan Belanda yang dimediasi oleh Komisi Tiga Negara, yang kemudian menjadi United Nations Commission for Indonesia. Pertemuan yang semula diadakan di Muntok dipindahkan ke Pangkal Pinang.

Dalam perundingan itu, dibuat naskah awal perundingan ”Roem-Royen” di House Hill atau tempat istirahat pimpinan perusahaan Timah, yang saat ini menjadi Museum Timah Indonesia. Inti isi perundingan Roem-Royen adalah gencatan senjata dan mempersiapkan pengambilalihan ibu kota negara di Yogyakarta, yang saat itu dikuasai Belanda.

Bagi pemimpin bangsa waktu itu, khususnya Soekarno, tekad dan kesadaran bersama mengenai pentingnya sebuah ”nation” yang berdaulat adalah hal yang mutlak. Nasionalisme adalah bangsa Indonesia yang berdaulat dari kekuasaan dan imperialisme bangsa asing, yaitu Belanda. Nasionalisme menjadi semangat, keinginan, ”cita-cita”, dan pengikat bersama yang mengalahkan kepentingan kelompok dan golongan. Nasionalisme sebagai ideologi kebangsaan yang terus dibangun Soekarno diharapkan mampu membentuk kesadaran bersama untuk menjadi bangsa yang tidak terkotak-kotak dan maju di antara bangsa-bangsa di dunia.

Akan tetapi, bagi kelompok kekuatan politik lokal, seperti DI, pengasingan pemimpin negara dianggap sebagai ”kevakuman” kekuasaan. Ideologi nasionalis yang dibentuk pendiri bangsa dianggap bukan lagi ideologi yang mengikat bangsa Indonesia. Upaya untuk menghancurkan ideologi nasionalis dan NKRI pun ditempuh Kartosuwiryo dengan kekuatan bersenjata. Korban berjatuhan karena harus berhadapan dengan pasukan TNI, khususnya pasukan Siliwangi di Jawa Barat.

Dalam buku Sukarno, Bapak Bangsa Indonesia diuraikan juga ruang gerak pemberontak DI/Tentara Islam Indonesia (TII) dipersempit melalui operasi pagar betis yang digerakkan tentara bersama rakyat. Pada 4 Juni 1962, Kartosuwiryo yang ditinggalkan anak buahnya ditangkap. Pada 16 Agustus 1962 dalam sidang Mahkamah Militer, ia dijatuhi hukuman mati.

Setelah 50 tahun DI/TII ditumpas, itu tidak berarti gerakan kelompok radikal bersenjata berakhir. Dalam buku Deradikalisasi Terorisme karangan Petrus Reinhard Golose disebutkan, DI/TII terurai dalam kelompok yang lebih kecil. Salah satu kelompok yang cukup kuat dan memiliki pengaruh di Jawa Tengah adalah kelompok Abdullah Sungkar.

Tahun 1993, Abdullah Sungkar mendeklarasikan pendirian Al-Jama’ah Islamiyah (JI). JI diduga adalah pemeran utama dari berbagai peristiwa terorisme di Indonesia. Aksi JI tidak hanya berkutat di negeri ini, tetapi juga di Asia Tenggara.

Sampai saat ini pun gerakan kelompok radikal yang mengancam simbol negara dan keutuhan NKRI masih terasakan. Misalnya, kelompok radikal yang dikendalikan oleh Pepi Fernando, terpidana perkara terorisme.

Dalam persidangan, Pepi Fernando alias Muhamad Romi alias Ahyar didakwa dua kali mengincar rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Peledakan saat iringan rombongan Presiden lewat direncanakan diadakan saat melintas di daerah Cawang, Jakarta Timur, dan di jalan alternatif Cibubur ke arah Cikeas, Kabupaten Bogor.

Menurut jaksa Rini, tahun 2008, Pepi Fernando mengikuti kelompok taklim khusus di Aceh yang dipimpin Ustaz Abdul Rosyid alias Abu Kholis selaku Amir atau pimpinan NII wilayah Sumatera. Periode 2008-2009, Pepi juga aktif memberikan taklim khusus kepada teman-temannya di Jakarta, antara lain, Maulana Sani, Wari, Darto, Awi, Watono, Mugi, dan Hendi. Misi kelompok terdakwa dalam organisasi NII adalah melakukan pembinaan dengan dakwah untuk mencari umat. Visinya, mendirikan NII yang dirintis Kartosuwiryo. Terdakwa juga mempelajari cara pembuatan bom melalui internet dan membaca buku terkait jihad (Kompas, 4/11/2011).

Kelompok radikal tak menyenangi pemerintahan yang sah. Ini karena, misalnya, pemerintah dinilai tidak mengakomodasi keinginan kelompok radikal. Atau, ideologi pemerintah dinilai menyimpang dari kaidah ideologi radikal, bahkan dianggap ”kafir” dan ”thogut”.

Kelompok radikal menyebarkan ideologi dengan berbagai cara. Ideologi radikal dianggap bisa menjadi alternatif. Ideologi radikal dengan perjuangan yang menghalalkan kekerasan tentu mengancam NKRI yang dibangun pendiri bangsa. Karena itu, upaya mencegah ideologi radikal berkembang subur harus terus-menerus dilakukan dengan berbagai cara secara konsisten oleh semua komponen bangsa. Upaya pencegahan itu, misalnya, melalui program deradikalisasi.

Selain itu, paham nasionalis tentu juga seharusnya terus dihidupkan dan dibangkitkan dengan berbagai cara. Sebagai contoh, proses penanaman nilai perjuangan, semangat, atau ”cita-cita” bersama untuk membangun bangsa serta memupuk rasa kecintaan terhadap Tanah Air secara efektif melalui pendidikan di segala tingkatan.

Dilihat dari perjalanan sejarah, masyarakat Bangka memiliki modal besar untuk mengampanyekan nasionalisme itu. Menurut Akhmad Elvian, kedatangan Soekarno disambut antusias warga Pangkal Pinang. Masyarakat mengelu-elukannya saat Proklamator itu berada di kendaraan dengan pekik merdeka. Kedatangan Soekarno juga memberikan dorongan moril yang besar bagi pejuang pro-Republik Indonesia di Bangka.

(Ferry Santoso)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com