Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rembang, Potret "Autopilot" Negeri Maritim

Kompas.com - 02/04/2012, 12:44 WIB

Oleh: Sonya Hellen Sinombor dan A Hendriyo Widi
Pelaut yang ulung bisa lahir dari mana saja, tak terkecuali yang menggeluti Laut Jawa—perairan yang selama ini dikenal relatif tenang. Masyarakat di pesisir Rembang membuktikan diri mereka sebagai nelayan serta pembuat kapal yang tangguh dan mandiri meski jauh dari sentuhan pemerintah. Inilah kisah ”autopilot” di negeri maritim.  
Lembayung jingga menggelayut menyongsong senja, Rabu (21/3). Di pesisir pantai bewarna putih di Desa Karanganyar, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Sunarlin (46) tengah memperbaiki kapal di dekat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Karanganyar.

Berulang kali dia menambal lubang-lubang kapal yang menemaninya merengkuh samudra sejak 10 tahun silam. Tak jauh darinya, dua awak kapal mengecat ulang badan kapal. Tak ketinggalan, tulisan ”Doa Ibu” yang tertera di situ dipoles kembali dengan cat warna nge-jreng: merah, kuning, biru.

”Laut adalah tumpuan hidup kami. Biar tenang dan banyak dapat ikan, kami selalu meminta restu ibu dan istri setiap melaut,” tutur Sunarlin mengenai makna tulisan pada kapalnya itu.

Sekitar 3 kilometer dari Desa Karanganyar, tepatnya di Desa Kalipang, Kecamatan Sarang, suara palu kayu seberat 4 kilogram bertalu dengan debur ombak. Di bawah rumbai-rumbai daun kelapa kering, 10 pria tengah menggarap kapal pursein sepanjang 17 meter dengan lebar 7 meter dan panjang 3 meter. Mereka adalah tukang kapal binaan Nur Habib (38).

Sesuai permintaan pemesannya, kapal penangkap ikan berbobot sekitar 80 ton ini akan diberi nama ”Sumber Laut”. Berbahan baku kayu jati, kapal ini berharga Rp 1,3 miliar.

Untuk membuat kapal selama tiga bulan, para perajin kapal dibayar borongan. Pendapatan tiap perajin bergantung pada keahlian yang dimiliki. Pembantu tukang, tukang, dan kepala tukang mendapatkan upah per hari mulai dari Rp 50.000-Rp 100.000 per orang.

Sejak dulu, masyarakat pesisir Kragan dan Sarang memang terkenal sebagai nelayan sekaligus perajin kapal tradisional. Sebutlah, misalnya, Rasnadi (30), pemilik galangan kapal Pagar Jati Nusa.

Mereka melayani pesanan pembuatan kapal penangkap ikan, mulai dari nelayan di pesisir utara Jawa Tengah, seperti Rembang, Pati, Pekalongan, Batang, hingga pesisir utara Jawa Timur, seperti Tuban.

Adaptif
Sepuluh tahun terakhir, para pemilik galangan kapal memodifikasi kapal tradisional menjadi kapal semimodern, mengingat jarak melaut pun semakin jauh dan para nelayan kesulitan menemukan gerombolan ikan. Kapal-kapal itu dilengkapi peralatan navigasi, seperti global positioning system (GPS), radio, dan alat penangkap ikan.

Ini pertanda masyarakat pessisir Rembang adaptif terhadap perkembangan alam. Mereka juga tidak alergi terhadap perkembangan teknologi.

Sayangnya, generasi orang-orang laut itu sudah berubah. ”Dulu nelayan-nelayan mengandalkan ilmu titen melaut (mengandalkan petunjuk bintang, gunung, dan angin). Sekarang, ketika yang tua-tua sudah pensiun, yang muda enggak mau belajar,” papar Rasnadi.

Kendati menjanjikan lapangan pekerjaan, pengusaha galangan kapal mengaku menggerakkan usahanya secara mandiri tanpa sentuhan tangan pemerintah. Untuk promosi kapal-kapal produk Rembang, pengusaha galangan kapal harus bekerja sendiri.

Rasnadi pernah ikut pameran di luar negeri. Biayanya sampai Rp 150 juta. Untung ada pesanan kapal, jadi tidak sia-sia ikut pameran. Asal tahu saja, Rasnadi mampu membuat kapal pesiar atau pleasure boat.

Yang agak menggembirakan, dalam dua tahun terakhir, Rasnadi menerima pesanan kapal dari beberapa kabupaten penerima bantuan kapal pencari ikan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Misalnya pesanan dari Kabupaten Gresik dan Blitar pada 2010 dan 2011.

Hingga kini, ada delapan galangan besar di Kecamatan Sarang yang melibatkan sekitar 155 perajin kapal. Dalam setahun, galangan-galangan kapal di Rembang menghasilkan 50-60 kapal dengan nilai produksi rata-rata Rp 21 miliar per tahun.

Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Rembang Kusaeri mengatakan, hidup di laut itu keras, harus tahan banting. Setiap waktu harus siap ditelan gelombang, bahkan dikabarkan hilang.

Semua tantangan itu dihadapi demi menafkahi keluarga. Bahkan, ada sejumlah nelayan yang selama berbulan-bulan meninggalkan keluarga menjadi nelayan boro alias merantau. ”Nelayan kami banyak yang boro ke Banten, Pekalongan, Subang, hingga ke Lampung. Biasanya saat Lebaran baru pulang kampung,” paparnya.

Salah satu sebab mereka mencari ikan di luar wilayah karena tidak banyak lagi ikan di sekitar perairan Rembang. Sekitar 20 tahun lalu, sejauh 30 mil saja sudah dapat ikan banyak. Sekarang, harus melaut hingga lebih dari 80 mil.

Semakin jauh melaut berarti semakin besar biaya perbekalan, terutama bahan bakar yang naik terus dari tahun ke tahun. Selain itu, perlu didukung pula dengan kapal yang kuat dan teknologi perkapalan yang lebih maju. Inilah problem yang dihadapi Kusaeri bersama nelayan lain di Desa Karanganyar.

Sadar bahwa kehidupan mereka bertumpu pada laut, para nelayan tetap terjun melaut meskipun harga pangan dan bahan bakar minyak terus naik. Mereka tetap berjuang mandiri meskipun tidak ada bantuan dari pengambil kebijakan.

Bagaimana semangat hidup dan guyubnya orang-orang laut di pesisir Rembang itu sempat dilukiskan oleh sastrawan asal Blora, Pramoedya Ananta Toer. ”Ombak-mengombak riak-meriak, perahu nelayan menembus kelam, orang kampung tak kenal tamak, peras keringat sepanjang malam, seia-sekata ikan cakalang, satu hilir semua hilir, hidupi keluarga banting tulang, kerja keras rezeki mengalir. Angin keras menghempas buritan, udang-udang dijemur bertebaran, lelaki semalu perempuan seresan, sepakat sekampung tahan cobaan” (lihat Gadis Pantai, Maret 2007).

Kisah petani garam yang ulet seolah melengkapi dinamika pesisir Rembang. Dianugerahi garis pantai sepanjang 62,5 kilometer, Rembang menghidupi 781 pemilik lahan garam dan 4.739 buruh garam. Setiap tahun para nelayan menangkap 30.000 ton-50.000 ton ikan (senilai Rp 180 miliar-Rp 280 miliar). Adapun produksi garam krosok rata-rata mencapai 100.000 ton per tahun.

Karena laut merupakan sumber kehidupan, sedekah laut menjadi bentuk ucapan syukur masyarakat pesisir. Begitu juga dalam proses pembuat kapal. Mereka tak lupa menggelar selamatan ”gantung lunas” saat akan membuat kapal. Ya, laut kudhu dijogo amergo nguripi (laut harus dijaga karena menghidupi). Begitulah filosofi yang mereka anut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com