Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

UN yang "Menyedihkan"

Kompas.com - 17/04/2012, 09:26 WIB

Oleh ROBERT BALA

Ritual zikir dan istigasah yang cukup ramai dilaksanakan menjelang pelaksanaan ujian nasional cukup menarik untuk disimak.

Terlihat tak sedikit anak yang menangis saat pemimpin doa menyentuh mereka dengan kata-kata menggugah. Apalagi, jika disertai ritus membasuh kaki orangtua, suara tangis jadi tidak terbendung.

Ritual seperti ini tentu saja positif. Dengan doa diharapkan siswa memiliki ketenangan dan kesiapan batin untuk menghadapi ujian nasional (UN). Hal ini juga sebuah momen yang menguatkan siswa. Mereka disadarkan, segala persiapan tak akan sia-sia. Tuhan tidak akan tutup mata terhadap pengorbanan yang sudah dilaksanakan.

Akan tetapi, apakah kesedihan itu sekadar konsekuensi dari doa yang mendalam atau punya arti lain? Ada apa dengan UN sehingga pelaksanaannya membuat siswa kita sedih?

Kesedihan, demikian Santo Thomas dalam Suma Teologica I-II, bisa muncul karena empat hal. Ia bisa hadir sebagai bentuk kasih sayang. Orang bersedih karena tidak tega melihat penderitaan orang lain. Dalam konteks UN, tangisan siswa bisa disebabkan rasa prihatin atas teman lain yang—karena alasan internal atau eksternal—tidak cukup siap menghadapi UN.

Kesedihan juga bisa muncul akibat iri hati. Orang merasa sedih melihat kebaikan yang dibuat orang lain. Siswa yang belum siap iri kepada teman lain yang sudah lebih siap. Ia pun menangis karena telah menyia-nyiakan waktu untuk belajar. Rasa jengkel pun bisa muncul dari anak yang berasal dari kalangan bawah yang tidak punya keberuntungan seperti temannya yang lain.

Lebih jauh, kesedihan bisa berubah jadi kegelisahan mendalam karena secara pribadi merasa sudah tak berdaya untuk keluar dari kungkungan masalah. Ia hanya pasrah pada nasib; merataplah dia. Variasi lima paket soal dalam satu ruang justru membuatnya kian panik dan sedih.

Otonomi sekolah

Sepintas, kesedihan siswa itu dianggap sesuatu yang normal. Pada masa remaja yang notabene penuh gejolak, rasa sedih perlu dibangkitkan. Ini jadi satu bentuk evaluasi diri demi menyentuh batin dan diharapkan terjadi perubahan berarti. Petinggi negeri ini pun akan bersyukur karena berkat zikir, keributan di jalan, tawuran, dan aneka kenakalan lain akan berkurang secara drastis, paling tidak menjelang UN.

Namun, sesederhana itukah arti kesedihan? Mengutip Victor Frankl, kesedihan bisa dimaknai lebih jauh sebagai ekspresi frustrasi dan depresi eksistensial, malah sebuah ekspresi pesimisme radikal. Jenis kesedihan seperti ini tentu tidak hadir secara kebetulan, tetapi akibat dari kesalahan eksistensial pula.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com