Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demi Keberhasilan Anak Autistik

Kompas.com - 30/04/2012, 09:32 WIB

Oleh Susie Berindra dan Fabiola Ponto

Frustrasi, sedih, dan tak berdaya. Perasaan itu menyeruak tatkala Prita Kemal Gani tidak mampu berkomunikasi dengan putri bungsunya, Raysha Dinar Kemal Gani, yang kini berusia delapan tahun. 

Tak terlintas di benaknya, Raysha akan terdiagnosis autistik. Sebelum berusia 18 bulan, Raysha suka mengikuti Prita menyanyi dan menghitung. Raysha juga bisa diajak bermain petak umpet. ”Kalau saya menyanyi old MacDonald had a farm, dia akan menyahut, e-i-e-i-o,” tutur Prita mengenang.

Menginjak usia 18 bulan, Raysha mengalami kemunduran. Dia tak mampu berkomunikasi. Saat Prita membawanya ke dokter, hasil kajian menunjukkan Raysha mengalami autistik.

Tak begitu saja menerima hasil itu, dibawanya sang putri berobat ke Australia dan Singapura. Mereka berharap diagnosa dokter tak benar. Akan tetapi, hasilnya sama.

”Raysha mengalami gangguan spektrum autistik sehingga menggunakan komunikasi nonverbal untuk mengungkapkan sesuatu,” tutur Prita. Ia menambahkan, autistik tak ada obatnya. Semua yang dilakukan adalah early intervention (intervensi dini).

Bagi pendiri London School of Public Relations (LSPR) ini, mempunyai putri autistik menjadi ”cambuk”. Matanya terbuka untuk berbuat sesuatu bagi orang lain.

”Awalnya saya berpikir, kenapa saya? Lalu, ibu saya mengingatkan, kalau kita mendapat sesuatu, berarti Tuhan mengirim pesan,” ujarnya.

Prita dan suami segera mencari berbagai informasi mengenai autisme. Dia juga berusaha mengetahui apa yang disenangi putrinya. Berbagai hal tentang intervensi dini untuk anak autistik, diet makanan, dan pendidikan khususnya, dia pelajari.

”Sedikit demi sedikit saya melihat Raysha menyenangi kegiatan luar ruangan, seperti naik kuda, berenang, atau bermain dengan lumba-lumba,” ujarnya.

Kemudian, Prita menyadari, pendidikan khusus untuk anak autistik ternyata mahal. Dia memikirkan nasib masyarakat kelas menengah ke bawah dengan anak autistik. Apalagi untuk mendapatkan informasi mengenai gangguan perkembangan anak relatif tak mudah.

”Raysha masuk ke sekolah untuk anak berkebutuhan khusus, biayanya mahal. Saya berpikir, bagaimana misalnya seorang petugas satpam yang beristri suster radiologi dan mempunyai anak autis? Saya merasa lebih beruntung dari mereka. Lalu, apa yang bisa saya lakukan?”

Berawal dari milis

Empat tahun lalu, Prita bersama ibu-ibu yang peduli autisme menggagas berbagai kegiatan untuk anak autistik. Awalnya, milis dibuat untuk menjadi tempat berbagi para ibu yang mempunyai anak autistik. Mereka berbagi pengalaman.

”Kami juga mengetuk orang-orang yang tak mempunyai hubungan dengan autisme untuk peduli. Di Indonesia jumlah anak autistik makin meningkat. Sebuah penelitian menyebutkan, dari 1.000 kelahiran, terdapat delapan anak autistik,” tambah Prita, yang mendirikan London School Centre for Autism Awareness. Lembaga tersebut melakukan berbagai kegiatan, seperti seminar, pelatihan untuk mentor, dan sosialisasi. Bentuk sosialisasi di antaranya tentang cara menangani anak autistik di tempat umum, seperti hotel, butik, dan pesawat terbang.

Menurut Prita, restoran, hotel, dan butik sebaiknya menyediakan tempat bermain untuk anak berkebutuhan khusus. Mereka memerlukan tempat yang nyaman, tak terlalu terang, dan tak berisik.

Untuk membantu pihak hotel dan butik saat menerima konsumen anak autistik, Prita memberikan program pelatihan. ”Misalnya untuk butik, bagaimana menata ruang untuk anak autistik. Apa saja mainannya. Ketersediaan ruang ini membuat si ibu tak khawatir saat berbelanja,” paparnya.

Yang telah mendapatkan pelatihan untuk melayani anak autistik antara lain Hotel Millennium, Hotel Pullman, dan butik Marks and Spencer, Jakarta.

”Anak autistik jangan ditinggal saja di rumah. Kalau ibunya berbelanja, ajak serta anaknya. Kalau mereka dipahami, anak autistik akan lebih mudah bersosialisasi dengan lingkungannya,” katanya.

Pelatihan untuk melayani anak autistik juga diberikan antara lain kepada awak pesawat Turkish Airlines dan Pakistan Airlines. Prita juga memanggil mentor dari Filipina untuk memberikan pelatihan penanganan anak autistik di tempat umum.

”Anak autistik tak bisa mendengar suara berisik, seperti di pesawat terbang. Di sinilah diperlukan penanganan yang berbeda. Kami juga mengajukan program serupa untuk beberapa penerbangan dalam negeri,” ujarnya.

Bentuk sosialisasi lain yang dia lakukan adalah London School Centre for Autism Awareness. Prita meminta anak didiknya di Jurusan Performing Arts Communication LSPR membuat film tentang anak autistik. Film berjudul Adikku Berbeda ini diambil dari buku My Brother is Different yang ditulis Dr Sung Min, psikiatri asal Singapura. Naskah film Adikku Berbeda ditulis Arswendo Atmowiloto.

Informasi seputar autisme juga bisa didapatkan lewat situs web www.lspr.edu/csr/autismawareness, dan buletin autisme yang diberikan kepada klinik tumbuh kembang di beberapa daerah.

Tak hanya informasi bagi orangtua untuk menangani anak autistik, Centre of Autism Awareness juga memberikan informasi untuk saudara kandung anak berkebutuhan khusus.

”Jangan melupakan saudara kandung anak berkebutuhan khusus. Mereka juga menderita, harus mengalah. Karena itu, kami mengadakan program sibling support group, seperti seminar atau sharing,” katanya.

Perubahan aturan

Prita juga mengusulkan perubahan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus. Dalam PP itu, definisi anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun. Padahal, menurut Prita, sebaiknya anak berkebutuhan khusus tak dibatasi usia.

”Untuk mereka yang umurnya 30 tahun pun pasti masih membutuhkan perlindungan bila mengalami autistik,” ujarnya.

Centre of Autism Awareness dan usulan perubahan PP itu baru langkah kecil untuk mewujudkan mimpinya bagi anak autistik. Ia berangan-angan, kelak anak autistik bisa mandiri saat bakatnya diketahui serta mengenal dan mengetahui tentang dirinya.

Dengan demikian, anak autistik tak selamanya menjadi beban. Mereka bisa bermanfaat bila diberdayakan. Misalnya memberi mereka pekerjaan dan perusahaan itu pun mempunyai mentor dan sarananya. ”Keberhasilan anak autistik itu saat dia tidak lagi dipandang autistik,” ujar Prita.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau