Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Upaya Melestarikan Tembang Dolanan Anak

Kompas.com - 31/05/2012, 12:40 WIB
Lusiana Indriasari

Penulis

Oleh : Lusiana Indriasari

KOMPAS.com- Tahun 1938 H. Overbeck mendokumentasikan 690 tembang dolanan anak dalam bukunya berjudul Javaansche Meisjesspelen en Kinderliedjes. Seiring perkembangan zaman, tembang dolanan anak itu sebagian besar sudah punah.

Seorang gadis berkebaya dengan tangan diikat ke belakang duduk dikurung ke dalam sebuah sangkar ayam. Sangkar itu kemudian ditutup dengan kain lebar hingga tertutup seluruhnya. Seorang gadis berkebaya lainnya terlihat sedang membawa tungku kecil berisi kemenyan dengan asap mengepul. Itulah jenis permainan Sintren yang dimainkan sambil melantunkan lagu beritmis puisi berjudul Ilir-ilir.

Sintren adalah permainan magis di mana gadis yang terikat tangannya ke belakang itu bisa mempersolek dirinya sendiri layaknya bidadari. Permainan asal Pekalongan Jawa Tengah yang sudah punah ini dihadirkan kembali oleh pelukis Hermanu melalui karya ilustrasinya yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta 30 Mei - 3 Juni 2012.

Hermanu melukis kembali ilustrasi dolanan anak itu dari buku Overberck yang pernah menjabat sebagai kepala Museum Sonobudoyo pada tahun 1938. Dalam bukunya Overberck menyebutkan ada sekitar 1500 tembang dolanan anak di daerah berbahasa Jawa di Pulau Jawa. Dari jumlah itu ia berhasil mendokumentasikan sebanyak 690 tembang dolanan anak berikut ilustrasinya.

Hermanu kemudian mengangkat kembali 40 karya Overberck dalam bentuk ilustrasi di atas kertas karton dengan sapuan cat air. Masing-masing dolanan anak yang digambar ilustrasinya ini dilengkapi narasi tembang yang dinyanyikan anak-anak saat memainkannya.

Pameran bertema Ilir-ilir Ilustrasi Tembang Dolanan Anak ini, menurut Hermanu, Kamis (31/5), merupakan upaya untuk melestarikan dolanan anak yang pernah menjadi ciri kebudayaan bangsa Indonesia. Ilustrasi yang tercetak di buku Overberck sulit dinikmati orang karena ukurannya terlalu kecil hanya 7x11 centimeter persegi.

Selain ilustrasi lukisan, juga dipamerkan ilustrasi foto yang dibuat pada tahun 1930-an. Tembang dolanan anak ini juga dibukukan oleh Bentara Budaya Yogyakarta dengan judul sama. Dalam buku itu termuat 152 tembang dolanan anak yang diambil dari buku Overberck seperti tembang ilir-ilir, Jah Gajah Telena, Soyang-soyang dan masih banyak lagi.

Tembang dolanan anak itu tidak seluruhnya masih dikenal melodinya. Hermanu mengatakan, hanya 40 persen lirik tembang yang diketahui melodinya. Selebihnya mereka hanya tahu liriknya saja. "Pameran ini menjadi semacam umpan. Siapa saja yang bisa mengenal melodi dari tembang dolanan yang dipamerkan bisa menambahkan dokumentasi kami," kata Hermanu. 

Menurut Sindhunata tembang dolanan merupakan bagian tak terpisahkan dari permainan anak-anak di masa lalu. Anak-anak memiliki perbendaharaan beberapa lagu dolanan yang dihapalkan luar kepala. Hapalan itu mudah tertanam karena lagu-lagu itu disusun dalam puisi yang indah. Puisi ini bisa dibuat untuk mengiringi permainan mereka atau justru berasal dari permainan anak-anak itu sendiri.

Dalam buku Homo Ludens yang menyoroti permainan dalam aspek filosofis, sosial dan kulturalnya, sejarahwan Johan Huizinga mengungkapkan bahwa puisi dilahirkan dalam permainan dan disuburkan oleh permainan. Sindhunata mengatakan, tema permainan dalam pameran itu hanyalah sebuah kenangan masa lalu yang tidak mungkin kembali. Hal ini bisa menjadi tanda bahwa kita sudah meninggalkan diri kita sebagai homo ludens yang khas dengan kebudayaan timur.

Berubah bentuk

Permainan anak-anak memang tetap ada sampai sekarang. Hanya,  bentuknya sudah berubah. Anak-anak sekarang lebih banyak bermain games. Games memang menimbulkan kesenangan dan mengasyikkan. Namun games tidak mendekatkan anak-anak pada alam dan lingkungan. Permainan anak-anak di masa lalu mengajarkan kedekatan dengan alam dan kebersamaan karena dimainkan secara komunal.

Kebersamaan itu terjalin melalui interaksi bersama-sama saat mereka bermain. Huizings mengatakan bahwa permainan adalah awal dari kebudayaan. Menurut Sindhu, jika benar tesis Huizings ini maka tak heran bila kebudayaan Jawa sangat diwarnai kebersamaan, kesosialan dan kegotomgroyongan.

"Permainan games buatan pabrik menjauhkan anak-anak dari kebudayaannya. Anak-anak kini menjadi lebih individualistis karena "teman" yang dikenal anak melalui games adalah teman virtual," kata Sindhunata. Kebiasaan ini nantinya membentuk manusia dewasa yang individualistis, egois dan sinis terhadap kebersamaan dan kesosialan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com