Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rahasia APU Menyiapkan SDM di Era Globalisasi (II)

Kompas.com - 03/07/2012, 15:58 WIB

*Oleh Dahlan Nariman

KOMPAS.com
- Kegiatan formal dan informal di kampus Ritsumeikan Asia Pacific University (APU), Jepang, memiliki andil sangat besar dalam mengkondisikan orang-orang dari berbagai negara ke dalam satu komunitas dalam hubungan satu sama lain yang sangat mencair (melting relation).

Aktivitas-aktivitas akademik dan non-akademik tersebut, yang di-setting secara sengaja atau tidak sengaja oleh pihak universitas, sebenarnya menjadi arena pembentukan jiwa lulusannya, yang dianggap sedang matching dengan kondisi bursa kerja di era globalisasi ini.

Memang, tak sedikit pihak yang khawatir, jika kita banyak berhubungan dengan orang asing berbeda budaya, bukankah identitas kita semakin nyaris hilang tak berbekas. Namun, berdasarkan pengalaman di APU, jawabannya tergantung diri kita masing-masing. Jika kita ingin larut, memang gampang sekali identitas diri kita hilang larut dalam budaya lain.

Di sini terbukti, jika kita pandai-pandai berbuat dan mengemas apa yang kita miliki, justru identitas kita diakui orang lain. Intinya adalah kemauan kita bekerja keras dan mencari strategi jitu mengemasnya.

Multi-cultural week

Ada cerita menarik. Ini juga terjadi di lingkungan kampus APU. Di APU ada yang namanya Multi-Cultural Week yang di mulai sejak tahun 2002. Awalnya, ini hanyalah sekedar kegiatan sederhana kelompok mahasiswa dari beberapa negara untuk memperkenalkan bahasa dan budayanya ke mahasiswa negara lain.

Seiring waktu, kegiatan ini berkembang dengan kegiatan promosi identitas Negara yang semakin kompleks. Intinya misinya tetap sama, yaitu mempromosikan budaya masing-masing Negara. Evolusi perkembangan ini terjadi, karena nasionalisme dan pencarian identitas. Ketika satu Negara membuat event 'cultural week' negaranya lebih bagus, nasionalisme mahasiswa negara lain sepertinya semakin tergugah. Mereka akan membuat yang lebih bagus dari negara tersebut.

Akhirnya, persaingan sehat dan kompetitif secara tidak sengaja terbentuk dengan sendirinya. Setiap tahun, mahasiswa dari beberapa negara berfikir keras untuk menggali, identitas dan budaya milik negaranya. Kemudian, mereka bekerja keras mengemasnya agar bisa diterima dan mendapat tepuk tangan meriah dari seluruh penduduk kampong global di kampus APU ini. Bahkan, demi misi tersebut mereka juga merekrut orang-orang di luar negaranya untuk mengorganisasi dan bermain bersama dalam event tersebut.

Kolaborasi antarnegara terjadi juga dalam event ini. Di sini, tanpa disadari, kegiatan Multi-Cultural Week telah menjadi ajang penggugah nasionalisme dan pencarian identitas berbagai orang dari masing-masing negaranya. Termasuk juga menjadi ajang belajar berkolaborasi dengan orang-orang dari latar belakang budaya berbeda.

Namun, satu hal yang membanggakan, berdasarkan pengamatan setiap tahun, Indonesia Cultural Week, menjadi 'cultural week' primadona di kampus APU. Terbukti dengan tingginya antusiasme warga "kampung global" ini menanti dan mengikuti Indonesia Cultural Week setiap tahun. Selama empat tahun terakhir, penonton selalu berjajar mengantre panjang puluhan meter sejak jam 3 siang untuk mendapatkan tempat duduk di hall yang berkapasitas 800 tempat duduk. Padahal, biasanya acara baru dimulai sekitar jam 7 malam.

Apa yang dicari?

Ternyata, yang selalu dinantikan orang dari berbagai negara adalah indahnya gerakan-gerakan Tari Saman. Mungkin, kita sendiri banyak yang heran, mengapa Tari Saman? Kenapa tidak tarian dari Bali yang sudah tersohor di mata turis asing, atau tarian Jawa dan Sunda yang lemah gemulai. Semua telah dicoba. Namun, antusiasme sambutannya masih belum ada yang mengalahkan Tari Saman. Mengapa bisa terjadi demikian?

Ini jawaban yang disampaikan orang-orang di sekitar APU, bahwa Tari Saman tidak ada duanya dari yang lain. Baik itu geraknya, suara pengiringnya dan alunan musik tabuhnya. Karena alasan itulah, Tari Saman ini menjadi atraksi tari terlaris yang disuguhkan dalam berbagai event di kampus. Ketika seorang teman yang juga profesor seorang menyelenggarakan hajatan konferensi internasional di kampus, dia meminta Tari Saman sebagai pembuka acara. Dari situ terbukti, bahwa betapa kuat "impact" Tari Saman itu.

Lebih dari itu, ternyata Tari Saman telah menjadi trade mark wakil budaya Indonesia di APU yang selalu mengundang decak kagum masyarakat global di kampus ini dan juga tamu-tamu VIP di sana. Belajar dari peristiwa ini, dalam globalisasi penggalian identitas diri dan apa yang kita miliki itu sangat penting dalam berbagai sektor apapun. Tetapi, diperlukan kerja keras tanpa henti, untuk menggali, mengemas dan melakukan berbagai percobaan agar bisa diterima, laku dan mendapat antusisme di arena global.

Dengan kerja keras tanpa henti itulah, dijamin kita tidak hanya sekedar akan menjadi penonton, tetapi mampu menjadi pemain di kancah global. Semoga Bisa! (Habis)

*Penulis adalah Vice-Dean of Admissions, Associate Professor, Education Development and Learning Support Center (EDLSC) di Ritsumeikan Asia Pacific University/APU), Jepang

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com