Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PTS: Tak Ada Gedung, Ruko Pun Jadi

Kompas.com - 20/07/2012, 10:34 WIB

Suhartono

Tak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada gedung, rumah toko pun jadi kampus. Begitulah. Di pertokoan Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur, terdapat Sekolah Tinggi Teknologi Indonesia- Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nasional Indonesia.

Lembaga pendidikan yang didirikan pada 11 September 1986 oleh Laksamana Muda Dr Djoko Murti itu terletak di lantai dua Graha Miradz. Sekolah Tinggi Teknologi Indonesia-Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nasional Indonesia (STTI-STIENI) sudah 10 tahun mengontrak di gedung tua.

Untuk naik ke lantai dua, mahasiswa harus melewati sebuah tempat usaha, toilet, dan anak tangga berlantai kusam.

Ada dua ruang kuliah yang dipakai. Posisinya bersebelahan dengan kapasitas masing-masing 26 kursi. Maka, setiap hari ruang kelas dipakai secara bergantian, Senin hingga Sabtu.

Selain dua ruangan itu, ada satu ruang untuk pegawai, yang berjumlah empat orang, termasuk ruang kerja pimpinan. Di belakang meja pegawai terdapat rak-rak buku yang menyimpan skripsi dan perpustakaan.

Dengan status akreditasi B, STTI-STIENI memiliki empat jurusan, yakni teknik mesin, elektro, sipil, dan arsitektur. Adapun untuk ekonomi, ada dua jurusan manajemen dan akuntansi. Dosen yang dimiliki 37 orang meskipun tak ada satu pun yang berstatus tetap.

Menurut Koordinator STTI-STIENI Kampus B Oberlin Simanullang, Rabu (18/7), dosennya berasal dari perguruan tinggi negeri, seperti Universitas Indonesia.

Kampus A terletak di Jalan Matraman, Jakarta Pusat, dan dipimpin langsung oleh Djoko Murti.

”Memang sederhana, tetapi kami menerima apa adanya, dan kami tetap punya semangat karena ingin ikut membantu pendidikan mahasiswa tak mampu,” kata Simanullang.

Kini, kampus B STTI-STIENI memiliki 120 mahasiswa. Jumlah mahasiswa yang sudah diwisuda sekitar 300 sarjana.

Uang kuliahnya, menurut Simanullang, relatif murah. Delapan semester dibayar Rp 20,85 juta, dengan setoran awal Rp 2,5 juta dan sisanya dicicil Rp 350.000 per bulan. Itu di luar biaya ujian skripsi dan wisuda.

”Untuk bayar gedung, kami harus keluar Rp 60 juta setiap tahun, membayar uang administrasi ke yayasan 35 persen dari penghasilan. Sekitar 65 persennya untuk bayar gaji, listrik dan telepon, dan lainnya.” ujarnya.

Meskipun fasilitasnya terbatas, sejumlah mahasiswa merasa puas, di antaranya Boy, mahasiswa fakultas manajemen. ”Banyak yang bilang bisa langsung kerja,” ujarnya.

Di Jalan Radio Dalam, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, juga berdiri Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Institut Teknologi Komunikasi & Pemasaran (ITKP) The School of Advertising, yang berlokasi di rumah toko (ruko). Kampusnya empat lantai dengan luas 1.000 meter persegi.

”Kampus kami memang terletak di ruko. Namun, ruko itu sumbangan seorang pengusaha, yang kami harus manfaatkan bagi pendidikan,” ujar Ketua STIKOM ITKP Prof Dr Rudy Harjanto, Kamis (19/7).

Setiap tahun, STIKOM ITKP menerima sekitar 40 mahasiswa. Total mahasiswa sekarang 350 orang. Biaya kuliah Rp 3,5 juta per semester. ”Kami punya dua ruang studio untuk praktik mahasiswa, perpustakaan, dan ruang aktivitas senat mahasiswa,” kata Rudy.

Risma Adi Nugroho, mahasiswa STIKOM ITKP, yang baru selesai Juni lalu dan akan diwisuda akhir tahun ini, mengaku bangga meski kampusnya di ruko. ”Buat kami, yang penting kuliahnya dan pengajarnya kompeten di bidang periklanan,” kata Risma, yang kini bekerja di perusahaan periklanan.

Di luar Jawa

Di luar Pulau Jawa tak jauh beda. Salah satu PTS, misalnya, ASMI Sitha, Palu. Sampai sembilan tahun berjalan, kampusnya masih mengontrak di sebuah rumah seluas sekitar 400 meter persegi. Hanya terdapat kurang dari lima ruangan untuk perkuliahan. Tak ada fasilitas laboratorium atau perpustakaan.

Beberapa kampus lain juga masih memanfaatkan rumah sebagai tempat kuliah sekaligus kantor, yaitu Pusat Pendidikan Widyaloka yang menyelenggarakan pendidikan S-1 dengan beragam jurusan. Dengan luas tanah kurang dari 500 meter persegi dan bangunan berkisar 400 meter persegi, kampus ini lebih terlihat sebagai rumah. Hanya umbul-umbul di sekitar pagar yang membuat orang melihat rumah ini sebagai kampus.

Di STIMIK Bina Mulia Palu, walau bangunan kampusnya terlihat lebih memadai, sebanyak 875 mahasiswa hanya bisa memanfaatkan 10 ruang kuliah. Pada akhirnya, kuliah harus dilaksanakan sejak pagi hingga pukul 00.00 WITA agar mereka bisa bergantian menggunakan ruang kuliah.

Di kampus ini terdapat empat lab yang masing-masing berisi 30 komputer. Perkuliahan sudah dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas televisi. Di STIMIK, mahasiswa membayar Rp 2 juta per semester.

Lain lagi di STISIPOL Panca Bhakti yang mahasiswanya lebih banyak mengikuti kuliah dalam bentuk teori walaupun sejumlah mata kuliah diberi embel-embel audiovisual ataupun komputer.

”Ada lab komputer, ada perpustakaan, tapi tak pernah digunakan. Kami kebanyakan kuliah teori. Hampir tidak ada kuliah di lab. Padahal, untuk beberapa jurusan, seperti komunikasi dan informatika, ada mata kuliah audiovisual atau komputer,” kata Fiqman Sunandar, mahasiswa semester enam.

Untuk kuliah di sini, Fiqman membayar uang semester Rp 500.000 per bulan ditambah Rp 200.000 tiap ujian semester. Untuk biaya kuliah, Fiqman lebih banyak menggunakan uang sendiri. Dengan keahlian fotografi, dia bekerja sebagai kontributor di kantor berita Antara.

Kondisi lebih buruk terdapat di kampus-kampus yang ada di luar Palu. Keinginan menyekolahkan anak di tengah keterbatasan dana membuat banyak orangtua pasrah menguliahkan anaknya di PTS-PTS walau minim fasilitas. Fenomena ini tak hanya di Jakarta dan Palu, tetapi juga di kota besar lainnya.

”Ini karena ketidakonsistenan pemerintah. Izin diberikan, tetapi tak dijaga mutunya. Sudah diberikan izin, dibiarkan binasa,” kata pemerhati pendidikan Dharmaningtyas.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara PTS Indonesia Thomas Suyatno, jumlah kampus yang menempati ruko memang tak kurang 5 persen dari total 3.016 PTS di Indonesia. ”Namun, pemerintah jangan mengumbar izin, tetapi harus juga mengontrol dan membina PTS serta membantu,” ujarnya.

Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Sulawesi Tengah Burhandudin juga mengatakan, banyak PTS yang hingga sepuluh tahun berjalan sama sekali tidak dapat bantuan pemerintah. ”Mestinya iktikad baik PTS untuk ikut berkecimpung dalam dunia pendidikan jangan dipandang sebelah mata. Mestinya pemerintah ikut mendorong dan membantu mereka berkembang,” kata Burhanuddin.

Habis manis sepah dibuang?(REN)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com