Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Camilan Jantung Pisang hingga Sarung

Kompas.com - 30/07/2012, 12:35 WIB

ESTER LINCE NAPITUPULU

Potensi pangan di Indonesia melimpah. Dengan kreativitas dan teknologi sederhana, beragam jenis pangan bisa dikembangkan, termasuk dari bagian tanaman yang selama ini sering kali tak dimanfaatkan.

Pada saat panen pisang melimpah di Kecamatan Bandar, Batang, Jawa Tengah, para petani hanya fokus menjual pisang. Bagian lain, seperti jantung pisang, sering kali terbuang.

Kalaupun ada yang meminati, jantung pisang hanya untuk sayur. Akhirnya, banyak jantung pisang terbuang begitu saja.

Melihat potensi jantung pisang yang tersedia melimpah di daerah Bandar—salah satu sentra penghasil pisang—para guru dan siswa di SMP Terbuka Bandar terpacu berkreasi membuat camilan. Jantung pisang pun diolah menjadi camilan, seperti kerupuk, keripik, dendeng, dan abon. Ternyata produk itu diminati dan menjadi jajanan anak-anak.

Aneka camilan dari jantung pisang karya guru dan siswa SMP Terbuka Bandar ini menarik perhatian dan menjadi juara I kategori tata boga pada Lomba Motivasi Belajar Siswa Mandiri (Lomojari) Ke-10 di Jakarta, awal Juli lalu. Lomba ini merupakan wadah inovasi keterampilan siswa SMP terbuka yang fokus pada pendidikan keterampilan sebagai bekal saat siswa tak mampu melanjutkan ke SMA/SMK.

Kuswanti, guru keterampilan SMP Terbuka Bandar, mengatakan, potensi pisang sebenarnya bukan hanya buahnya. Sayangnya, potensi itu belum disadari banyak orang, padahal dapat memberi nilai tambah.

”Ketersediaan jantung pisang melimpah. Jika jantung pisang bisa diolah, anak-anak SMP terbuka juga mudah mengembangkan sendiri,” ujar Kuswanti.

Diminati

Saat dipamerkan di stan SMP Terbuka Bandar pada ajang Lomojari, banyak pengunjung heran dan penasaran. Sebab, jantung pisang yang tadinya tak diminati ternyata enak dikonsumsi ketika diolah menjadi aneka camilan dengan rasa gurih dan pedas, opor ayam, dan rendang. Abon jantung pisang yang dicampur pada kue-kue lebih disukai.

”Mengolahnya tidak sulit, bisa dipraktikkan sendiri. Banyak yang tanya bagaimana membuatnya. Yang diminati antara lain kerupuk,” kata Kuswanti.

Camilan dari jantung pisang baru dipasarkan di kantin SMP Terbuka Bandar dan toko-toko sekitar sekolah. Ada rencana memperluas pemasaran di Bandar.

Untuk satu jantung pisang ukuran besar, petani menjualnya Rp 3.000, sedangkan yang kecil Rp 1.000. Dengan modal satu karung jantung pisang seharga Rp 50.000 yang dibuat kerupuk, siswa SMP Terbuka Bandar bisa untung dua kali lipat. Modalnya balik, plus keuntungan Rp 100.000.

Ahmad Thohirin (14), siswa SMP Terbuka Bandar, mengatakan, sekolah juga memanfaatkan potensi pangan lokal lain untuk camilan, seperti singkong dan ubi jalar ungu/putih. Kedua tanaman ini juga melimpah di Bandar.

”Untuk singkong dibuat jadi jajanan, seperti kroket, kue lumpur, brownies, dan pizza. Jajanan singkong yang diolah macam-macam ini disenangi anak-anak. Harga jualnya tidak mahal, disesuaikan kantong anak-anak desa,” ujar Ahmad.

Adapun ubi jalar ungu/putih diolah menjadi es krim. Agar rasanya menarik, tepung ubi jalar ungu/putih yang dibuat jadi adonan es krim itu dicampur rasa buah-buahan dengan pilihan antara lain jeruk, sirsak dan kiwi, serta markisa dan buah naga.

Menyentuh TKI

Pengembangan keterampilan untuk bekal mandiri juga diberikan kepada anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) menjadi induk untuk SMP terbuka—disebut learning center—di sejumlah tempat yang dekat dengan komunitas TKI Indonesia di Malaysia.

Sri Wati, guru SIKK, mengatakan, para siswa SMP terbuka di Malaysia diajari keterampilan menjahit. Keterampilan ini dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha produksi pakaian seragam SD dan SMP siswa Indonesia. Kreasi siswa SMP Terbuka Kinabalu yang baru pertama kali pada ajang Lomojari ini meraih juara I kategori tata busana.

Selain itu, keterampilan menjahit juga diterapkan untuk pembuatan tas pesta sederhana. Para siswa membuat tas dengan rangka karton yang dilapisi kain satin atau kain lain yang menarik. Tas pesta sederhana yang relatif murah ini bisa dititipkan di toko-toko di Malaysia.

Harianto (16), siswa SMP Terbuka Kinabalu, senang belajar seperti anak-anak Indonesia lain. Kebijakan Pemerintah Malaysia yang melarang anak-anak asing bersekolah di sekolah pemerintah membuat banyak anak TKI kesulitan menikmati pendidikan.

”Untuk sekolah swasta boleh, tetapi mahal. Biaya sekolah mencapai 3.000 ringgit per bulan atau sekitar Rp 9 juta. Banyak orangtua tidak sanggup,” kata Harianto.

Selain belajar keterampilan menjahit atau tata busana, para siswa juga mendapat keterampilan tata boga. Dengan bekal keterampilan ini, kelak siswa bisa mengembangkan usaha sendiri untuk mandiri.

Pendidikan keterampilan di SMP Terbuka Wonomulyo, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, beda lagi. Mereka menitikberatkan menjaga warisan budaya. Para siswa diajari menenun sarung aneka motif.

Selanjutnya, tenunan sarung dikembangkan untuk dibuat beragam produk yang dapat dimanfaatkan sehari-hari. Tenunan sarung, antara lain, diaplikasikan untuk kopiah, sarung bantal, dan taplak meja.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com