Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 03/08/2012, 08:02 WIB

Jakarta, Kompas - Meski mulai menggeliat, integrasi obat herbal ke dalam pelayanan fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, belum optimal. Obat herbal baru difungsikan sebagai terapi komplementer untuk menunjang terapi utama.

Sebagai contoh, pengguna layanan Satelit Obat Tradisional di Rumah Sakit Kanker Dharmais rata-rata 10 orang per hari atau 10 persen dari 50-100 pasien rawat jalan baru per hari dan 100-200 pasien rawat jalan lama per hari. Pasien umumnya penderita kanker.

Separuh pengunjung Satelit Obat Tradisional menebus obat herbal dengan resep dokter. Obat herbal yang diresepkan umumnya untuk meningkatkan kadar albumin darah yang sering rendah pada penderita kanker, meningkatkan nafsu makan, memperbaiki fungsi hati, dan merangsang kekebalan tubuh.

Maya (20) menebus obat herbal terstandar ekstrak Curcuma longa (kunyit) untuk ibunya yang menderita kanker payudara. Kunyit bermanfaat sebagai antiperadangan. ”Ibu saya sudah selesai kemoterapi. Dokter meresepkan obat herbal dan obat lain agar lebih lekas pulih,” ujarnya.

Kendala integrasi

Ketua Unit Pengobatan Komplementer RS Kanker Dharmais Aldrin Neilwan mengatakan, integrasi herbal ke dalam layanan rumah sakit masih perlu dioptimalkan. Biasanya penderita kanker menggunakan herbal sebagai terapi pendukung. Karena itu, potensi herbal sangat besar. Aldrin menekankan, herbal bukan pengganti obat kanker.

”Salah satu tantangan besar agar digunakan di pelayanan kesehatan adalah menyediakan bukti teruji dari obat herbal. Untuk itu, masih perlu banyak penelitian herbal,” kata Aldrin yang juga Sekretaris Bidang Kajian Pengobatan Tradisional Komplementer pada Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.

Aldrin mengatakan, dokter di Indonesia dididik dengan sistem pendidikan kedokteran konvensional yang mewajibkan bukti ilmiah dalam memberikan terapi. Di sisi lain, pengujian dan penelitian ilmiah terhadap herbal di Indonesia masih sangat terbatas. Akibatnya, ketersediaan obat herbal terstandar terbatas.

Hal ini, lanjut Aldrin, berbeda dengan China yang sukses mengintegrasikan herbal dan pengobatan konvensional, termasuk dalam sistem pendidikan kedokteran. Penelitian dan pengujian manfaat dan keamanan herbal sudah banyak sehingga integrasinya lebih mudah.

Keterbatasan obat herbal teruji di Indonesia membatasi pengobatan herbal di layanan kesehatan.

Formularium Obat Herbal Asli Indonesia hanya berisi 60 tanaman obat yang sudah diuji preklinik. Jumlah itu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Daftar Obat Esensial Nasional yang berisi lebih dari 300 jenis obat (kimia). Obat-obatan itu umumnya sudah diuji klinik.

Aldrin berpandangan, obat herbal dan obat kimia tidak dapat begitu saja diperbandingkan atau disamakan karena keduanya mempunyai cara kerja yang berbeda dalam menjaga dan memulihkan kesehatan individu.

Dia mengatakan, untuk menambah daftar herbal teruji yang digunakan di sarana kesehatan serta meyakinkan tenaga kesehatan, perlu diperbanyak penelitian tentang manfaat dan keamanan herbal.

Kajian dapat dimulai pada tanaman obat atau ramuan yang sudah digunakan turun-temurun. Inventarisasi itu kemudian dilanjutkan dengan penelitian dan pengujian obat herbal secara ilmiah. (INE)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com