Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Orangtua dan Anak

Kompas.com - 12/08/2012, 04:46 WIB

SAMUEL MULIA

Tepat dua minggu yang lalu, saya menyaksikan sebuah tayangan di televisi mengenai cara merombak dan menata tempat tinggal lama yang kumuh menjadi sesuatu yang baru. TKP-nya di sebuah kota di Jepang. Yang menarik bukanlah hasil perombakannya, melainkan penghuni yang berjumlah enam orang yang mendiami rumah seluas 19,8 meter persegi itu.

Otak dan perasaan

Enam orang itu nenek, ayah, ibu, dan tiga orang anak. Mereka terpaksa makan di kamar tidur si nenek, sementara ibu, bapak, dan tiga anak tidur bersamaan. Kulkas pun tak dapat dibuka secara penuh karena dapur berukuran super mungil dan dipadati dengan barang-barang lain.

Dalam hati saya bertanya, siapa yang harus bertanggung jawab untuk semua kejadian itu? Setelah pertanyaan itu, ada ”sejuta” lagi pertanyaan lain yang menyusul. Haruskah saya menikah kalau dana yang saya miliki tak mencukupi? Haruskah saya punya anak kalau rumah saja saya hanya bisa memiliki yang sekecil itu? Apakah kalau saya menikah dan punya anak tanpa uang yang memadai, Tuhan akan memberkati karena saya menjalankan perintah-Nya?

Saya sampai tak habis bertanya. Apakah manusia itu sesungguhnya tahu makna bertanggung jawab? Ataukah tak mau tahu? Apakah tanggung jawab adalah berarti menikah, terus punya anak, dan menanggung mertua dalam rumah sekecil itu? Apakah prinsip punya rumah dulu, urusan berikutnya nanti saja dipikirkan, adalah sebuah bentuk bertanggung jawab?

Ataukah tanggung jawab itu berarti melakukan eksekusi yang menggunakan otak dan perasaan? Atau otak dan perasaan itu sesungguhnya tak bisa tersatukan? Atau manusianya yang malas atau tidak memiliki kemampuan menyatukan keduanya? Selesai menyaksikan itu dada saya sesak rasanya.

Beberapa hari sebelum kejadian di atas, saya pergi ke Bekasi, berbicara dengan tiga pensiunan di sebuah bank. Usianya 80, 70, dan 60 tahun. Yang pertama mengambil uang pensiunan, yang kedua dan ketiga mau meminjam uang. Di tempat itu terlihat sekian puluh lagi manusia sepuh yang berjalan saja harus dipapah oleh satpam atau pasangannya yang sama sepuhnya.

Pertanyaan yang sama saya ajukan kepada ketiga orang lanjut usia itu. Akan dipakai untuk keperluan apakah dana yang didapat? Ketiganya ternyata menjawab dengan jawaban yang sama: untuk anak dan cucu.

Saya bertanya lagi, mengapa sampai sudah setua ini masih mendanai anak-anak dan cucunya? Ketiganya sepakat menjawab, anak mereka tidak punya cukup dana untuk hidup meski sudah bekerja dan memiliki momongan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com