Jakarta, Kompas -
Pada surat edaran 9 Agustus, Djoko Santoso, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menjelaskan, kebijakan ini terkait penerapan UU Pendidikan Tinggi (PT) yang memuat berbagai ketentuan baru tentang pendirian dan perubahan bentuk PT, pembukaan program studi (prodi) baru, serta penguatan pendidikan vokasi. Surat ditujukan kepada Koordinator Kopertis, pimpinan perguruan tinggi negeri, gubernur, dan bupati/wali kota.
Nantinya, pendirian dan perubahan bentuk PT serta pembukaan prodi baru yang akan diusulkan harus diproses sesuai UU PT dan peraturan pemerintah yang akan diterbitkan.
”Dengan adanya UU PT, kami harus menata lagi. Moratorium sementara untuk penambahan program studi dan perubahan bentuk perguruan tinggi baru. Jumlah program studi terlalu banyak, mendekati 20.000. Kami akan menata ulang lebih dahulu, terutama sistemnya, supaya semuanya berjalan lebih baik,” kata Djoko, akhir pekan lalu.
Sesuai data 1 Agustus 2012, jumlah PT di bawah Kemdikbud adalah 3.216 PT. Rinciannya, 92 PTN dan 3.124 PTS. Dari semua PT itu ada 16.755 prodi.
Dominasi prodi, antara lain prodi kependidikan (2.877), ekonomi dan teknik (masing-masing 2.650), kesehatan (2.086), komputer (1.543), sosial (1.348), dan pertanian (1.185).
Kebijakan moratorium PT diberlakukan karena usulan pendirian PT terus mengalir. Kemdikbud mencatat ada usulan 813 pendirian PTS baru, tetapi yang diproses 758 PT. Perubahan bentuk PTS yang diusulkan 192 dan semuanya diproses. Pembukaan prodi baru ada 3.449 dan semuanya diproses.
Untuk semua usul pendirian dan perubahan bentuk PTS serta pembukaan prodi baru yang tercatat Ditjen Dikti sebelum 1 September 2012 akan diproses sesuai perundang-undangan. Pengecualian dilakukan jika dipandang perlu diselenggarakan prodi tertentu pada wilayah tertentu.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi Hamid, kebijakan moratorium PT diperlukan untuk penataan. ”Harus untuk yang benar-benar baru. Yang sudah diproses dan punya izin operasional tetap perlu diproses,” kata Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta itu.