Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kunci Reformasi Pendidikan

Kompas.com - 04/09/2012, 04:18 WIB

 

 

Oleh Agus Suwignyo

Lewat artikel ”Pendidikan Kunci Pembangunan” (Kompas, 27/8/2012), Wapres Boediono mengulas tentang hilangnya ”apa” yang seharusnya diajarkan di sekolah ”untuk menyiapkan manusia-manusia Indonesia yang mampu berkontribusi maksimal bagi bangsa”.

Tulisan berisi pemikiran yang tampaknya dimaksudkan sebagai referensi bagi penyusunan kebijakan strategis arah reformasi pendidikan nasional. Sayang sekali, harus dikatakan, gagasan-gagasan yang diuraikan Wapres bersifat umum, satu sisi (one- sided), dan abai terhadap pemikiran pendidikan dalam sejarah bangsa Indonesia. Wapres menyatakan sampai saat ini belum ada ”konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan”.

Benarkah? Mengapa di usia ke-67 Republik Indonesia memiliki seorang wapres yang lebih memilih mengadopsi pemikiran rektor Universitas Harvard daripada gagasan-gagasan pendidikan kerakyatan dari para pemikir negeri sendiri? Apakah gagasan dan praktik pendidikan Ki Hadjar Dewantara, KH Ahmad Dahlan, Mohammad Sjafei, RA Kartini, Rohana Kudus, Dwijo Sewojo, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Ki Mangunsarkoro, Muhammad Yamin, Daoed Joesoef, YB Mangunwijaya, atau Butet Manurung sudah tidak relevan?

Perspektif bahwa pendidikan kunci pembangunan hanya satu dari dua sisi hubungan pendidikan dengan masyarakat, yakni pendidikan sebagai daya dorong perubahan sosial. Pada sisi lain, pendidikan merupakan obyek kekuasaan politik, yang tak bebas dari aneka kepentingan yang mengebiri potensinya sebagai daya dorong perubahan sosial. Ini berarti, implementasi semua gagasan dan program pengembangan pendidikan sangat bergantung pada kemauan politik dan komitmen para pemegang kuasa.

Sebagai obyek kekuasaan, ranah pendidikan adalah bagian dari skema pembangunan masyarakat. Ia bagian hilir yang menjabarkan konsepsi hulu di bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan. Ketiga bidang bermuara pada apa yang oleh para pemikir politik dirumuskan sebagai visi kebangsaan dan kenegaraan serta oleh para budayawan diidentifikasi sebagai gambaran manusia Indonesia. Dalam konteks ini, problem utama pendidikan kita saat ini bukan hilangnya atau tiadanya ”apa” yang harus diajarkan, melainkan absennya arah pembangunan sebagai kunci reformasi pendidikan nasional. Perumusan visi, misi, dan kebijakan pendidikan tak mungkin didasarkan pada ruang hampa. Harus ada dasar pijakan solid yang memberikan gambaran historis dan kontekstual tentang hubungan pendidikan dan perubahan masyarakat.

Di mana posisi dan ke mana sebenarnya arah pembangunan manusia dan negara Indonesia saat ini? Apakah yang pernah dicanangkan sebagai Visi 2030 dijadikan dasar pembuatan kebijakan? Mengapa persoalan strategis pendidikan kita hingga kini masih serupa kenyataan 1950-an ketika kedaulatan Indonesia baru saja diakui dunia?

Ulasan Wapres sebenarnya mencerminkan keterbatasan perspektif pemerintah dalam merancang pembangunan nasional dan pembangunan pendidikan nasional. Dengan anggaran pendidikan Rp 331 triliun dalam RAPBN 2013 dan pujian masyarakat internasional atas pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil, pemerintah punya kebutuhan menyeimbangkan penilaian publik dalam negeri atas kinerja dan keberpihakannya pada kesejahteraan rakyat Indonesia. Sayangnya, kebutuhan itu tak diimbangi perspektif yang secara proporsional melibatkan dan mengapresiasi masa lalu bangsa.

Sifat, bentuk, isi, irama

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com