baca sebelumnya: Diskusi UU Pendidikan Tinggi (1) - Perguruan Tinggi Asing: Peluang atau Ancaman?
KOMPAS.com — Logikanya Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat untuk diundangkan pada 13 Juli lalu disambut baik oleh kalangan perguruan tinggi negeri dan swasta. Namun, suara kritis atas lahirnya UU itu justru kian bertambah, menyusul ketidakjelasan sejumlah aturan dalam UU itu.
Sejumlah pengelola PTS bahkan menyuarakan kemungkinan mengajukan uji materi (judicial review) atas UU itu. Dalam diskusi terbatas ”Pro dan Kontra UU Pendidikan Tinggi” yang digelar harian Kompas, 31 Juli di Semarang, Jawa Tengah, dorongan untuk mengajukan uji materi itu kian menguat.
Menurut Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Kota Semarang Wijaya, pembahasan UU Pendidikan Tinggi (UU PT), yang kini bernomor 12 Tahun 2012, sejak semula kurang melibatkan kalangan PTS. ”UU ini miskin uji publik. Sejak awal pembahasan rancangan, Aptisi sering terkecoh dengan berbagai versi yang muncul. Diskusi tidak jalan karena versi yang dibaca berbeda. Tim perancang cepat mengubah pasal-pasal,” ungkap Wijaya, yang juga Rektor Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang itu.
Sebenarnya, lanjutnya, naskah akademik UU PT bisa saja bagus. Namun, kalau tidak dikawal dari awal, saat disahkan, belum tentu materinya sama dengan naskah akademik awal.
”Saya menilai UU PT tak memiliki dasar hukum karena bukan merupakan perintah dari UUD 1945 ataupun UU lain. UU ini berisiko dibatalkan jika dilakukan uji materi,” ujar Wijaya.
Ada diskriminasi
Suara yang senada dilontarkan Ketua Yayasan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Semarang Sudharto. Ia mendorong mereka yang peduli atas pendidikan tinggi melakukan uji materi UU PT ke Mahkamah Konstitusi (MK). Selain diskriminatif, ada banyak aturan dalam UU itu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut.
”UU ini mengatur perguruan tinggi, tetapi tidak masuk akal sehat,” katanya. UU PT juga dinilai amat liberal, memberi kesempatan PT bekerja sama dengan perguruan tinggi asing.
”UU PT semestinya memberdayakan peran Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) untuk melakukan akreditasi misalnya. Bukan justru pemerintah campur tangan,” ujarnya lagi.
Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang Jamaluddin pesimistis UU PT mendukung pengembangan PTS. Ia justru melihat UU ini diskriminatif karena terlalu fokus dengan PTN. Ia memisalkan, UU PT menyebut kata PTN sebanyak 50 kali. PTS hanya disebut 16 kali.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.