Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penguatan SMK Masih Terkendala

Kompas.com - 09/09/2012, 18:19 WIB
Ester Lince Napitupulu

Penulis

MATARAM, KOMPAS.com — Penguatan SMK yang dicanangkan pemerintah dirasakan masih sebatas wacana.

Pendidikan di SMK yang umumnya mengakomodasi siswa dari keluarga tidak mampu masih belum mendapat dukungan yang kuat, baik dalam pembiayaan maupun pengembangan kualitas pendidikan. Melanjutkan pendidikan di SMK bagi siswa dari keluarga tidak mampu jadi pilihan untuk dapat membekali diri siap bekerja seusai tamat sekolah.

Namun, beasiswa untuk siswa tidak mampu yang dikucurkan pemerintah pusat masih terbatas, sementara tidak semua pemerintah daerah memiliki program serupa.

"Sekitar 62 persen siswa di sekolah kami tidak membayar. Pemerintah daerah menginstruksikan supaya siswa miskin digratiskan. Sekolah mengikuti, tetapi tidak ada sokongan anggaran bagi sekolah untuk menutupi biaya operasional," kata Kepala SMKN 5 Mataram Tri Budi Ananto, Minggu (9/9/2012).

Alokasi dana operasional dari pemerintah daerah berkisar Rp 95 juta per tahun. Padahal, sekolah juga membutuhkan dana operasional untuk listrik, telepon, air, hingga pembayaran guru-guru honorer. Sekolah tidak mungkin mengandalkan komite sekolah karena kondisi siswa yang umumnya berasal dari keluarga tidak mampu. Total tunggakan pembayaran uang sekolah tahun lalu mencapai Rp 218 juta.

Umar, Kepala SMKN 3 Mataram, mengatakan, dalam pengucuran dana untuk SMK pemerintah sering masih menyamakan dengan SMA. "Ibarat kata, kalau SMA kan ada guru, papan tulis, dan spidol, sudah bisa belajar. Berbeda dengan di SMK, praktik membutuhkan peralatan dan bahan-bahan. Jadi, mesti ada kebijakan untuk bisa menghitung pembiayaan yang berbeda," kata Umar. Dari pantauan di sejumlah SMK, keluhan soal kelengkapan sarana dan prasarana yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di laboratorium maupun bengkel SMK saat ini mengemuka dari para guru. Kondisi yang memprihatinkan, terutama di SMK swasta, sarana dan prasarana praktik terbatas sehingga pembelajaran lebih banyak teori.

"Pendidikan di SMK  70 persen praktik dan 30 persen teori. Pembelajaran harus berbasis praktik, baik di sekolah maupun magang ke industri. Minimnya dukungan dana dari pemerintah membuat sekolah harus kreatif menyiasasti keadaan," kata Umar.

Marlock, Koordinator Forum Peduli Pendidikan Pelatihan Menengah Kejuruan Indonesia (FP3MKI), mengatakan, pemerintah mesti memiliki grand design yang jelas dalam pengembangan pendidikan vokasi.

"Kalau memperbanyak vokasi sampai 60 persen atau 70 persen, lalu apa? Jangan sampai terjadi arus balik, setelah SMK lebih banyak dari SMA justru lebih banyak pengangguran. Sebab, kenyataan di lapangan masih banyak SMK yang di bawah standar pendidikan nasional," kata Marlock.

Menurut Marlock, penguatan pendidikan di SMK harus mengarah pada teaching industry. Selain itu, penguatan karakter siswa sesuai yang dibutuhkan dunia usaha maupun wirausaha harus menjadi kesatuan dalam pembelajaran di sekolah yang juga tidak mengesampingkan kualitas penguasaan kompetensi. Sejak awal sudah ditanamkan kepada siswa untuk dididik menjadi industriawan.

"Artinya, setiap anak sudah bisa memproduksi apa saja dengan peralatan yang menghasilkan sesuatu yang berguna untuk orang lain," kata Marlock. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com