Menunggu Majalah Sekolah 'Naik Daun'

Kompas.com - 14/09/2012, 12:25 WIB
Maria Susy Berindra A/Dahlia Irawati

Penulis

KOMPAS.com - Tak semua sekolah mempunyai majalah internal yang mengabarkan berbagai kegiatan. Kalaupun ada majalah sekolah, tim redaksinya kurang mendapat dukungan. Gimana ya cerita MuDAers yang masih tekun ”menghidupkan” majalah sekolahnya?

Kini, jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter menjadi media alternatif terpopuler untuk menuangkan ide, kabar, kisah, atau berita apa pun. Namun media fisik seperti majalah dinding (mading), newsletter, atau berbagai bentuk fisik lain rupanya masih tetap disukai, meski kurang dukungan.

Simak koran College Gazzette yang diterbitkan siswa SMA Kolese Kanisius (Canisius College) edisi bulan Februari dan Mei 2012. Koran delapan halaman itu berisi berbagai kegiatan SMA Kanisius sekaligus memperingati 85 tahun Kolese Kanisius Jakarta.

Sebelumnya, mereka menerbitkan majalah per semester, Canipress, setebal 50 halaman sejak 1980. Sayang, setelah terbit sampai tahun lalu, hingga kini mereka belum bisa menerbitkannya lagi. Meski konsepnya sudah jadi dalam bentuk soft copy.

Mengapa begitu? ”Sebenarnya anggota redaksi banyak, sekitar 30 orang. Tetapi karena sebagian besar kelas XI, jadi sulit mengaturnya,” ungkap Ketua Canipress, Mikael Reno Prasasto, siswa Kelas XII SMA Kanisius.

Meski kurang mendapat dukungan secara umum, mereka tak putus asa. Untuk itulah, mereka beralih menerbitkan koran yang menelan biaya Rp 300.000 untuk ongkos cetaknya.

”Semuanya uang kami sendiri. Banyak teman yang senang membaca koran kami, dan mendorong untuk terus menerbitkan media sekolah ini. Sekarang kami lagi berusaha meyakinkan sekolah, biar mendapat dukungan,” kata editor bahasa College Gazzette, Daniel Felix Heritono.

Hasil karya mereka yang tak dicetak, ditampilkan dalam canisiuspress.thumblr.com. Salah satu karya mereka yang ada di website itu adalah majalah Canipress edisi 67 yang belum diterbitkan.

Kondisi seperti itu juga dialami redaksi majalah Oase dari SMA Negeri 1 Solo, Jawa Tengah. Siswa SMA Negeri 1 Solo, Amalia Fitri Saraswati, mengatakan, seharusnya majalah Oase terbit per semester, tetapi karena kekurangan dana, majalah ini terbit sekali setahun.

”Sekolah memang memberikan dana untuk sekali penerbitan majalah. Sebenarnya peminat menjadi anggota redaksi banyak, tetapi yang bisa diterima hanya belasan orang. Kami juga mengalami pasang surut anggota,” ujar Amel, panggilan Amalia.

Padahal, menurut Amel, majalah yang dicetak sebanyak 970 eksemplar itu cukup diminati para siswa.

”Tetapi artikel yang mereka baca ya yang menarik atau menyangkut diri mereka saja, selebihnya kadang-kadang banyak yang tidak terbaca,” ujarnya.

Untuk itulah, Amel mengatakan, tim redaksi mesti kreatif berusaha mencari tema-tema yang dekat dengan remaja, dan membuat desain dengan warna cerah, biar menarik para pembaca.

Lebih beruntung

Siswa-siswi SMA Negeri 8 Jakarta menjadi awak redaksi yang lebih beruntung karena masih bisa mengekspresikan kreativitas menulisnya dalam bentuk majalah sekolah. Mereka hingga kini tetap gigih mengelola mading, majalah sekolah, dan produk jurnalistik mereka setiap tahun. Siswa-siswi tersebut tergabung dalam klub jurnalistik Media Siswa 8 (Mesis8).

Setiap tahun klub jurnalistik ini selalu dibanjiri peminat. ”Biasanya sepertiga angkatan baru selalu masuk menjadi anggota Mesis8,” tutur Ilham (17), ketua klub jurnalistik Mesis8, akhir pekan lalu. Satu angkatan siswa baru jumlahnya 300-an anak.

Halaman:


komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau