Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kurikulum Diharapkan Merespons Krisis Sosial

Kompas.com - 15/09/2012, 02:32 WIB

Yogyakarta, Kompas - Perubahan kurikulum diperlukan dan salah satu hal penting adalah membawa sekolah merespons krisis sosial. Pada saat bersamaan, menyiapkan tenaga pendidik dan calon pendidik memasuki proses belajar terus-menerus.

Demikian muncul pada diskusi pendidikan ”Perubahan Kurikulum: Urgen dan Perlukah Saat Ini?” di Kantor Kompas Perwakilan Yogyakarta, Jumat (14/9). Diskusi ini hasil kerja sama Kompas dengan Dinamika Edukasi Dasar (DED).

Hadir berbicara pengamat pendidikan Paul Suparno dan Ki Supriyoko; Ferry T Indratno (Direktur DED); pengajar Universitas Sanata Dharma, Haryatmoko; pengajar UGM, Agus Suwignyo; Ag Prih Adiartanto (SMA Kolese De Britto), dan Sri Prihartini Yulia (Pengawas Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Sleman); dipandu pemerhati pendidikan St Kartono. Semua pembicara setuju ada perubahan kurikulum saat ini.

”Perubahan harus menempatkan bahwa sekolah itu transmisi pengetahuan dan keterampilan. Sekolah juga wahana sosialisasi nilai-nilai dan sikap dalam masyarakat serta integrasi sosial,” kata Haryatmoko.

Terkait itu, kurikulum harus membawa sekolah merespons krisis hubungan sosial, kemiskinan, kekerasan atas nama agama, dan kesenjangan sosial. Harapannya, sekolah juga bisa menyampaikan nilai bersama berdasarkan akal sehat dan membuka kesempatan setara sehingga bisa memahami dan menerima pluralitas, memelihara kekayaan budaya, peran media, dan ekologi.

Kurikulum sekarang, menurut Paul Suparno, justru membebani anak. Dengan 14-16 mata pelajaran, ditambah keterbatasan waktu, siswa tak mampu belajar kritis atau mengambil keputusan.

Peran guru

Pembaruan kurikulum, lanjut Haryatmoko, juga bergantung pada guru. Untuk itu, guru harus bisa mengatasi ketinggalan kompetensi disiplin ilmu.

Hal sama diungkapkan Paul. Penyiapan guru sebagai pelaku kurikulum amat penting, khususnya menyongsong wacana memberi kebebasan institusi membuat kurikulum sendiri.

Kurikulum yang katanya kontekstual kenyataannya tidak, bahkan cenderung seragam.

Menurut Ki Supriyoko, delapan kali perubahan kurikulum (1950-2007) tak didasarkan pada perkembangan iptek dan budaya lokal. Namun, disebabkan faktor politis, seperti penggantian kurikulum tahun 1964 sebagai produk Orde Lama menjadi kurikulum 1968 produk Orde Baru.

”Kalau mau jujur, meskipun 67 tahun merdeka, masalah pendidikan dan tenaga kependidikan belum pernah dapat solusi memadai,” katanya. (TOP/ABK)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com