Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Kurikulum Berkelas Dunia

Kompas.com - 17/09/2012, 02:39 WIB

Oleh Nasrullah Nara

Ella Yulaelawati masuk-keluar kampung demi memberdayakan masyarakat melalui kecakapan aksara. Sekali waktu, ia berada di Yahukimo, pelosok Papua. Kali lain, ia bersama warga suku terasing To Balo di Barru, Sulawesi Selatan. Belakangan, dia kerap berada di pelosok Jawa Barat untuk mengajarkan teknik merajut dan menyulam kepada warga lanjut usia.

Begitulah sedikit kiprah Ella, seorang ahli kurikulum, dalam menerapkan inovasi pembelajaran keaksaraan. Program pendidikan nonformal diintegrasikan dengan kewirausahaan dan pembinaan taman bacaan masyarakat. Targetnya tak sekadar menjadikan warga melek huruf, tetapi juga memberdayakan mereka lewat kemampuan baca-tulis dan menghitung.

”Dengan kesibukan yang produktif, warga tunaaksara yang mulai melek huruf tidak berpotensi kembali menjadi buta huruf,” ujar Ella.

Inovasinya sukses mengantar Indonesia meraih penghargaan aksara King Sejong tahun 2012 dari UNESCO, lembaga PBB urusan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Indonesia dinilai berhasil mengurangi angka penyandang buta aksara usia dewasa (15-59 tahun), melampaui target Education for All (EFA).

Awalnya, sesuai dengan Kesepakatan Dakar 2004, penurunan jumlah warga tunaaksara yang pada 2005 berjumlah sekitar 15 juta orang ditargetkan menjadi tinggal separuhnya pada 2015. Namun, pada tahun 2011, pencapaian Indonesia sudah melebihi separuh dari target. Tinggal tersisa 6,73 juta orang. Ini juga selaras dengan Tujuan Pembangunan Milenium (MDG).

Penghargaan itu diserahkan pada pertemuan tingkat tinggi UNESCO di Paris, Perancis, 6 September lalu, serangkaian dengan Hari Aksara Internasional. Bagi Indonesia, penghargaan itu bermakna ganda. Di samping mendapatkan uang senilai 20.000 dollar AS (sekitar Rp 190 juta), medali, dan sertifikat, Indonesia juga sekaligus melegitimasi kapasitas Ella sebagai konseptor pendidikan keaksaraan tingkat dunia.

Ella, Direktur Pembinaan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini, didaulat memaparkan rencana aksi pemberantasan buta aksara di Indonesia.

Pertemuan itu dihadiri 20 menteri pendidikan, di antaranya menteri pendidikan India, Pakistan, serta negara-negara Timur Tengah dan Afrika. Ini bukan kali pertama dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, itu tampil dalam forum yang dihadiri 600 pakar.

Sebelumnya, tugas sebagai narasumber forum kementerian berskala internasional telah tiga kali ia tunaikan, masing-masing di Geneva, Swiss (2001); Beijing, China (2007); dan Belem, Brasil (2009).

Berproses

Bukan kebetulan jika lulusan doktoral Universitas Queensland, Australia, ini mendapat kehormatan tampil dalam forum internasional. Komitmen, pikiran, dan konsistensinya dalam pemberdayaan melalui keaksaraan sudah lama terpantau UNESCO. Dalam kurun 15 tahun terakhir, tak kurang dari 100 karya ilmiahnya terpublikasi penerbit nasional dan internasional.

Sejak tahun 1985, tak terhitung forum seminar dan simposium tingkat internasional untuk pembelajaran dan kurikulum yang ia hadiri, baik sebagai peserta maupun penyaji.

Kapasitas akademik Ella saling menopang dengan jabatan strukturalnya. Sederet inovasi dibuatnya agar target dan upaya pencapaian berjalan seiring, misalnya keaksaraan usaha mandiri.

Program itu relevan dengan pemberantasan kemiskinan. Penyandang tunaaksara diberi kesibukan berusaha dengan senantiasa mengasah kemampuan baca-tulis dan menghitung. Salah satu contohnya adalah merajut dan merangkai batu mulia dan manik-manik. Sejumlah hasil karya bersama warga belajar terjual dengan harga proporsional.

Menu dibuat berdasarkan segmennya. Kaum ibu rumah tangga diarahkan membuat ”Koran Ibu”. Adapun kalangan anak dan remaja diakrabkan dengan menu digital. Taman bacaan yang ”gaul” bertebaran di sejumlah tempat, dilengkapi perangkat multimedia.

Hampir separuh waktunya sebagai birokrat ia luangkan bersama pemangku kepentingan untuk berkiprah dari wilayah perkotaan marjinal hingga pelosok desa, pesisir, dan pedalaman. Bahkan, pekerja migran di area perbatasan Indonesia-Malaysia pun dijangkaunya.

”Ah, semua ini berkat komitmen banyak pihak dari pusat, provinsi, hingga kabupaten, termasuk para tutor,” tuturnya merendah.

Keluarga pendidik

Lahir dalam lingkungan keluarga pendidik, Ella sejak kecil terbiasa membumikan ilmu pengetahuan dengan pengalaman empiris. Sang ayah, RA Ganda Saputra Adhi Widjaya (almarhum)—guru, wedana, sekaligus tokoh Yayasan Perguruan Pasundan—membiasakan Ella suka membaca dan mencatat hal penting dari lingkungan sekitar.

Pernah suatu ketika, sang ayah dan ibundanya, Djulaeha (85), meminta Ella mencermati perilaku ayam yang mengeram. ”Saya akhirnya hafal bahwa telur yang dierami akan menetas pada hari ke-21,” kata ibu dua anak ini.

Lingkungan seperti itulah yang membentuk karakter tegas, pekerja ulet, disertai pemikiran sistematis pada dirinya. Sikap itu kian terasah saat ia menekuni sains di UPI (dulu IKIP Bandung).

Tahun 2004, ketika Kompas meliput tsunami di Banda Aceh, seorang guru yang lolos dari maut berkisah tentang peran Ella sebagai instruktur pembelajaran sains berbasis kompetensi. Awal tahun 2000-an, di bawah teror senjata Gerakan Aceh Merdeka, ia masuk-keluar kampung membaur bersama guru.

Kala itu, semasa masih bertugas di Pusat Kurikulum, Ella ikut menyelaraskan qanun dan kurikulum bernuansa Islam di Aceh.

Kalau dulu ia menggiatkan partisipasi peserta didik dalam jalur pendidikan formal, kini nenek satu cucu ini berkiprah dalam jalur pendidikan nonformal. Apa pun jalurnya, inovasilah yang utama. Ella telah turut mengangkat harkat bangsa lewat pendidikan non-persekolahan, jalur yang relatif jauh dari hiruk-pikuk arus utama pendidikan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com