JAKARTA, KOMPAS.com - Berulangnya kembali kasus terorisme di Tanah Air dipandang sebagai petaka. Apalagi, pelakunya rata-rata para pemuda harapan masa depan bangsa.
Penelitian demi penelitian di kalangan anak muda dan siswa menggambarkan kelamnya masa depan bangsa ini beberapa tahun ke depan. Sejumlah hasil penelitian yang ada menunjukkan, sebagian dari kaum muda sekarang mulai terjangkiti radikalisme bahkan terorisme (baca juga: Deradikalisasi Kaum Muda).
Mencegah sedini mungkin paparan ideologi terorisme mulai kepada anak-anak dinilai sebagai langkah penting yang harus dilakukan untuk memutus mata rantai terorisme di Indonesia. Keluarga, terutama ayah dan ibu, memiliki peran signifikan dalam upaya ini.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Niam Sholeh, menunjukkan contoh dari kasus terorisme di Solo. Farhan, terduga pelaku terorisme yang tewas ditembak oleh aparat, disebutnya berstatus darah biru teroris.
Farhan disebutkan sebagai anak kandung dari Sunarto, pelaku terorisme dari kelompok Hisbah di Solo. Saat ayahnya beraksi, Farhan masih berusia 12 tahun. Setelah itu, dia dibina oleh ayah tirinya, Abu Umar.
Niam mengatakan bahwa hubungan darah ini sudah diketahui oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Oleh karena itu, pemerintah harusnya menggarisbawahi hubungan darah ini sebagai dasar kuat untuk menggerakkan pencegahan doktrinasi ideologi terorisme kepada anak-anak.
"Anak harus dilindungi dari paparan ideologi yang menyimpang, dalam konteks ini adalah doktrinasi kekerasan dan terorisme", tegas doktor bidang hukum ini seperti dikutip dari rilis KPAI.
Berbasis keluarga
Niam kembali menegaskan bahwa upaya memutus mata rantai korupsi ini memang harus dimulai dari keluarga. Negara harus menjadi penggerak upaya deradikalisasi melalui pendekatan persuasif. Keluarga, ayah dan ibu, perlu disadarkan mengenai tanggung jawab penuh mereka terhadap anak.
"Banyak tunas baru teroris itu tumbuh saat usia anak atau remaja belasan tahun. Kita harus memutus mata rantai benih tumbuhnya ideologi kekerasan semacam itu sejak dini," tuturnya.
Ketika ada potensi terjadinya doktrinasi ideologi radikal pada anak, negara harus hadir untuk mencegahnya. Hal ini termasuk upaya perlindungan anak yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Keluarga, terutama orangtua, harus lebih giat memantau perkembangan perilaku dan pendidikan anak. Jika menemukan tanda-tanda perilaku radikal, orang tua mesti menarik anaknya dari jaringan ideologi kekerasan dan menanamkan nilai-nilai perdamaian dan kemanusiaan," tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.