JAKARTA, KOMPAS.com - Fenomena tawuran antarpelajar yang terjadi akhir-akhir ini di Jakarta dinilai bukan lagi tawuran biasa. Dekan Fakultas Psikologi Unika Atmajaya, Juliana Murniati, memandang adanya perubahan agresivitas yang dialami generasi muda saat memututskan terlibat dalam tawuran yang beresiko menelan banyak korban jiwa.
"Saya mengikuti pemberitaan terkait tawuran yang belakangan ini marak terjadi di Jakarta. Kalau kita lihat, bahasa halus perbuatan itu adalah perkelahian. Intensitas yang hingga menelan korban jiwa itu sudah di luar kemanusiaan," kata Murniati kepada Kompas.com, Kamis (27/9/2012) siang.
"Ini bukan darah muda lagi, pada periode sebelumnya kita tahu tetap ada perkelahian. Tetapi perkelahian yang sekarang, bukan dengan tangan kosong atau mengandalkan energi, melainkan sudah menggunakan barang-barang atau senjata berbahaya lainnya," tambahnya.
Peneliti bidang psikologi antar budaya ini menyatakan perubahan besar agresivitas atau keinginan kuat pada remaja itu dipengaruhi kelompok yang biasa menjadi pelaku tawuran. Intoleransi tumbuh terhadap kelompok lain yang langsung diidentifikasi sebagai musuh.
Selain itu, Murniati menilai, jika melihat konsekuensi yang dimunculkan, tawuran saat ini tak hanya berbicara soal gengsi kelompok lagi, tetapi juga mengandalkan ego per individu.
"Perasaan ingin unggul itu ada, karena kelompok ingin lebih gengsi dan tampak hebat di mata yang lain, sat penyerangan itu terjadi, dorongan di lapangan bukan soal seruan lagi tapi ego sendiri yang bergerak untuk bertindak lebih tidak manusiawi seperti membunuh," katanya.
"Wajar kalau pada saat pak Menteri menanyakan itu pada si tersangka, dia merasa puas. Itulah dorongan agresif yang berubah, Mereka sudah tidak memikirkan apa-apa lagi selain apa yang harus dikerjakan saat perkelahian itu terjadi maka habisi," tuturnya kemudian.
Atas munculnya ekspresi yang demikian, Murniati menyarankan peningkatan prestise institusi pendidikan, yaitu rumah dan sekolah, dan juga dari masyarakat dengan menekankan pada pendidikan karakter.
"Improvisasinya, pendidikan karakter yang harus dilaksanakan di rumah adalah contoh kasih sayang, penghargaan, dan toleransi. Di sekolah misalnya, secara praktis, anak didik tidak hanya diberikan pelatihan pendidikan karakter secara teoritis, tetapi dengan tindakan guru yang mengaplikasikan kasih sayang dan memberi dorongan positif bagi anak-anaknya itu yang penting," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.