KOMPAS.com — Suyanti (44) berusaha tegar melihat jenazah anak tunggalnya, Deni Januar (17), yang perlahan-lahan diturunkan ke liang lahad di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan, Kamis (27/9).
Mata Suyanti berkaca-kaca, tetapi ia berusaha sekuat tenaga agar tangisnya tak sampai pecah. Tangis ibu yang kehilangan buah hati. Kehilangan tumpuan harapan.
Beberapa perempuan mengelilingi Suyanti. Mereka khawatir jika ibu tunggal yang membesarkan Deni sejak suaminya meninggal belasan tahun silam itu tak kuat menahan kesedihan. Sehari sebelumnya, Suyanti dua kali tak sadarkan diri lantaran terpukul mengetahui putranya tewas akibat disabet dengan celurit oleh AU (17), siswa SMK Satya Bhakti (Kartika Zeni/KZ), Rabu siang lalu.
Namun, Suyanti yang hari itu mengenakan celana kain panjang dan kerudung corak hijau-hitam sungguh tegar dari awal hingga akhir upacara pemakaman. Ia lebih banyak diam, lalu ikut memanjatkan doa untuk putranya. Tak ada tangis histeris. Tak ada geram marah.
”Saya tidak bisa memberikan komentar dulu,” kata Suyanti saat ditemui seusai pemakaman. Ia memilih menenangkan diri.
Pesan ”emas” Suyanti
Namun, kepada teman-teman sekolah putranya di SMA Yayasan Karya 66, ia sungguh-sungguh berpesan agar mereka tidak membalas dendam atas kematian putranya. Ia ingin mereka mengikhlaskan kepergian Deni. Harapannya, biarkan penegak hukum menegakkan keadilan bagi Deni.
”Saya pesan, jangan melakukan pembalasan kalau kasihan sama almarhum. Jangan lakukan,” tutur Suyanti saat teman sekolah Deni melayat pada Rabu malam, seperti ditirukan Herlan (49), kakak kandung Suyanti, sekaligus ayah angkat Deni.
Menurut Herlan, Suyanti sangat berduka. Ia beberapa kali bergumam, bertanya mengapa Deni meninggalkannya. Hubungan Suyanti dan Deni sangat dekat. Sejak berusia balita, Deni sudah tidak mendapat kasih sayang dari ayah kandungnya yang meninggal karena sakit. Sosok ayah didapat dari Herlan, yang dipanggilnya bapak sejak almarhum belajar bicara. Sesekali Deni bisa sangat manja, bahkan minta tidur di sisi sang ibunda.
”Ia merasakan sedihnya kehilangan anak. Karena itu, ia tidak ingin hal ini juga menimpa orangtua lain. Ia berharap tidak ada lagi Deni-Deni yang lain,” tutur Herlan.
Sejak kecil, Deni tinggal di rumah Herlan di Gang Rusa 4, Kampung Bali, Manggarai, Jakarta Selatan. Di rumah sederhana itu, Deni kecil tumbuh bersama Herlan, istrinya, dua anak Herlan, Suyanti, dan adik laki-laki Herlan. Karena itu, ia tahu persis bagaimana Deni tumbuh dan bersikap.
Deni memang cenderung pendiam, tetapi tak pernah bermasalah. Ia juga rajin mengaji dan shalat. Bahkan, ia kerap berlatih marawis. Ia tak pernah minum minuman beralkohol. Sesekali temannya datang untuk kongko di depan rumah, tetapi pukul 22.00-23.00 mereka bubar.
Di kalangan guru dan teman- teman sekolahnya, almarhum juga dikenal sebagai orang yang tidak neko-neko, bahkan cenderung tak ada masalah. Ia juga dikenal suka berguyon.
Kristin (16), siswi kelas XII IPA, teman dekat Deni, mengenang almarhum sebagai anak yang jahil dan senang bercanda. Kendati berbeda kelas, mereka kerap jalan bersama dengan beberapa teman mereka yang lain, seperti Zaki dan Petra.
”Dia enggak pernah ikut tawuran sama sekali. Orangnya baik banget,” ujar Kristin dengan mata berkaca-kaca.