JAKARTA, KOMPAS.com - Sekolah dinilai memiliki otoritas untuk menangani masalah tawuran. Yunita (19), kakak kandung Alawy Yusianto Putra, korban tewas dalam tawuran antarpelajar SMAN 70 dan SMAN 6 Jakarta Selatan pekan lalu, menilai, sekolah bisa mencegah tawuran berulang melalui ketegasan dalam penegakan aturan.
"Sekolah saya dulu jarang banget ada masalah tawuran. Guru-gurunya semuanya keras. Yang tawuran langsung dikeluarkan," kata alumni SMA Negeri 47 Tanah Kusir, Jakarta Selatan itu saat ditemui Kompas.com di Markas Polres Metro Jakarta Selatan, Senin (1/10/2012) siang.
Menurut Yunita, tawuran pelajar yang kerap terjadi antara SMAN 6 dan SMAN 70 menjadi bukti lembeknya sanksi yang diterapkan sekolah kepada para pelajar yang terlibat. Para pelajar kedua sekolah di kawasan Kebayoran Baru itu, lanjutnya, akhirnya tak pernah jera terlibat dalam pertikaian terbuka.
"Akhirnya sudah jadi kebiasaan dan lebih sulit untuk ditangani," sambung mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.
Hal senada juga disampaikan oleh kuasa hukum keluarga Alawy, Ramdhan Alamsyah. Menurutnya, sekolah memiliki tanggung jawab dalam menangani kasus tawuran, khususnya dalam pemberian sanksi yang tegas terhadap pelajar yang terlibat. Bila sekolah tidak bersikap tegas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Dinas Pendidikan perlu menjatuhkan sanksi terhadap sekolah yang lari dari tanggung jawab itu.
"Kami ingin penyelesaian yang menyeluruh. Kementerian atau dinas seharusnya bisa memberi sanksi, misalnya dengan menurunkan status akreditasi sekolah," kata Ramdhan.
Ramdhan menilai, sekolah bisa dicap tidak tegas selama melakukan pembiaran tanpa memberikan teguran keras. Sayangnya, lanjut Ramdhan, sekolah-sekolah tersebut tetap menyandang status sekolah bergengsi.
"Lucu tetapi ironis, sekolah seperti SMA 6 dan SMA 70 punya embel-embel internasional tetapi nyatanya hanya jadi biang tawuran," tuturnya.
Berita terkait peristiwa ini dapat diikuti dalam topik "Tawuran Berdarah"