Jakarta, Kompas -
”Hingga Pak Harto pergi, tidak ada sikap negatif Pak Moerdiono pada Pak Harto,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie pada peluncuran buku
Buku yang diterbitkan Fadli Zon Library dan Institute for Policy Studies ini merupakan kumpulan makalah yang pernah disampaikan Moerdiono dalam berbagai kesempatan tahun 1990-1998. Di rentang waktu itu, Moerdiono menjadi pembantu Presiden Soeharto. Bersama Menteri Penerangan Harmoko, Moerdiono kerap tampil di media menyampaikan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Menurut Jimly, Moerdiono adalah tokoh yang setia pada ide meskipun pada praktiknya tidak membuatnya menjadi kaku. Hal itu, misalnya, Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah ide yang setia dipegang dan diperjuangkannya.
Menurut anak sulung Moerdiono, Ninuk Mardiana Pambudy, Moerdiono dalam tulisan-tulisannya juga menyinggung tentang bagaimana memahami Pancasila sebagai ideologi terbuka. Implikasinya, Pancasila harus diperlakukan sebagai ideologi yang harus dapat dimaknai sesuai perkembangan zaman.
Bangsa Indonesia sudah memilih Pancasila sebagai dasar negara, artinya Pancasila harus menjadi pedoman dalam berbangsa dan bernegara seraya selalu terbuka untuk dimaknai ulang sesuai tuntutan zaman.
Moerdiono tidak kenal lelah menyemangati anak-anak muda. ”Sangat sering Pak Moer datang ke tempat saya dan memberi nasihat agar saya sebagai anak muda harus berpegang pada Pancasila. Saya melihat, Pak Moer selalu tampil dengan persiapan matang agar tidak memunculkan kontroversi. Beliau menginspirasi saya, selalu hati-hati dan sederhana,” kata Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate Sukardi Rinakit.
Pemimpin Redaksi Harian
Rikard menambahkan, Moerdiono adalah seorang akademisi karena bisa menjelaskan segala hal secara logis dan bisa keluar dari wilayah yang terkungkung, jelas, dan global. Ia adalah pejabat yang tidak banyak intrik, polos, tokoh demokrat yang sesungguhnya, dan selalu mencari ide-ide baru untuk menjawab persoalan konkret.