Oleh Tb Ronny R Nitibaskara
KOMPAS.com - Hanya sehari berselang dari pemakaman Alawy Yusianto, korban tawuran antara SMA 70 dan SMA 6, kembali terjadi tawuran dua kelompok pelajar SMK di bilangan Manggarai, Jakarta Selatan, yang juga menelan korban.
Banyak pihak sudah lelah membicarakan tawuran pelajar di Ibu Kota. Tak kurang-kurang pemikiran para ahli diketengahkan sebagai tawaran pemecahan masalah. Berbagai penelitian dilakukan sejak 1980-an. Pada umumnya, tawuran diamati sebagai kenakalan remaja. Ada yang melihatnya sebagai perilaku bermasalah dan deprivasi sosial, frustrasi agresi, dan ada juga sudut pandang yuridis.
Pakar kriminologi Muhammad Mustapha (1998) dan pakar psikologi Winarini Wilman (1998) menyoroti kelemahan peneliti sebelumnya. Ketidakberhasilan argumentasi teoretis penelitian atau pakar sebelumnya diduga karena penelaahan tak memperhitungkan tawuran sebagai gejala tingkah laku kelompok yang berbeda dengan penyimpangan tingkah laku individu.
Berbagai upaya ditempuh dengan melibatkan kepolisian, hasilnya belum menggembirakan. Yang terjadi, kekerasan dalam tawuran kian meningkat, nekat, dan beringas. Berbagai penelitian membuktikan, tak ada korelasi antara pelaku tawuran dan keluarga yang tidak harmonis.
Juga tak ditemukan hubungan antara siswa yang terlibat tawuran dan penyalahgunaan narkoba. Justru untuk menyelamatkan diri dari tawuran, seorang siswa harus punya kesadaran dan kewaspadaan tinggi serta kondisi fisik prima. Penelitian Mustapha dan Winarini menunjukkan tak ada bukti meyakinkan, secara individual, siswa yang terlibat punya karakteristik pribadi dan latar belakang berbeda dari kelompok siswa yang tawuran. Menurut mereka, rasa permusuhan yang mendominasi situasi tawuran harus dipahami dalam kerangka dinamika kelompok yang amat kecil kaitannya dengan karakteristik individual anggota kelompok tawuran.
Dengan demikian, teori yang mencoba menghubungkan siswa yang terlibat tawuran berasal dari keluarga yang tak harmonis menjadi mitos yang salah. Winarini (1998) membuktikan, baik siswa yang terlibat maupun tidak mengaku memiliki hubungan dekat dengan orangtuanya.
Pendapat yang menyatakan sekolah berkualitas buruk dan berdisiplin rendah sering terlibat tawuran juga tak sepenuhnya benar. Dalam kenyataan (contoh kasus Bulungan), keterlibatan sekolah yang secara akademis tergolong papan atas dalam tawuran cukup tinggi dan membahayakan dalam arti menimbulkan korban tewas. Winarini juga melihat tawuran tak ada kaitan dengan tingkat kecerdasan dan prestasi belajar. Banyak siswa berprestasi juga terlibat. Siswa cerdas ternyata punya kontribusi dalam mengatur strategi atau evakuasi (penyelamatan) diri dan teman-temannya.
Tawuran dan premanisme
Sudah saatnya tawuran tak lagi dianggap kenakalan remaja biasa. Perilaku mengedepankan kekerasan ini, hingga September 2012, telah menimbulkan 14 korban tewas (ditambah korban Manggarai). Kekerasan kolektif ini sudah merupakan perilaku melanggar hukum.
Mengacu teori Freud, kemungkinan pelaku tak segan membunuh lawannya merupakan wujud dari insting agresif. Insting ini mendorong manusia menghancurkan manusia lain, berupa tingkah laku agresif yang mengandung kebencian, ditandai kepuasan yang diperoleh karena lawan menderita, luka, atau mati, dan yang memberikan kepuasan dengan melihat lawan gagal mencapai obyek yang diinginkan.
Ada perbedaan persepsi. Pelajar menganggap kenakalan yang dilakukan hanya manifestasi simbolis aspirasi mereka karena sering diperlakukan tak adil. Mereka mencoba mengidentifikasikan diri sebagai remaja yang berbeda dari orang di sekitarnya, di sekolahnya, di jalan, bahkan di masyarakat. Ini cara mempromosikan diri, dan tatkala mereka bertemu dengan kawan senasib mereka lantas membentuk kelompok tertentu. Sebaliknya, masyarakat cenderung menganggap tingkah laku ini sebagai kejahatan dan menuntut diberlakukan sanksi pidana. Namun, suatu tindakan agresi dikategorikan tindakan kekerasan sangat bersifat situasional dan dipengaruhi motivasi tindakan. Dalam kriminologi harus ada penjelasan kapan tindakan kekerasan disebut deviant dan kapan dianggap murni tindak pidana. Penggolongan itu sangat tergantung apakah tingkah laku itu sudah jadi karakter pelaku dan apakah dalam situasi serupa akan dilakukan berulang- ulang atau tidak.
Tawuran pelajar tampak mirip gejala premanisme. Kultur ini cenderung terkait masyarakat bawah. Sempitnya lapangan kerja, krisis ekonomi, dan ketimpangan pendapatan mencolok, mendorong mereka kian terpuruk ke pinggiran. Pada tingkat marginalisasi tinggi, mereka berpotensi melakukan perbuatan menyimpang ataupun kejahatan untuk penuhi kebutuhan. Dewasa ini, perilaku pelajar yang terlibat tawuran meniru nilai-nilai budaya preman, antara lain pencarian pengakuan status dengan menunjukkan ketangguhan, keberanian, dan kenekatan.
Pelajar cenderung menganggap tawuran sebagai cara memperoleh pengakuan dan status tinggi serta disegani dalam kelompoknya. Kian tinggi intensitas dan frekuensi dalam tawuran (melakukan pelanggaran hukum) dan kian berat pelanggaran di mata hukum dengan melakukan pemukulan atau penganiayaan, makin tinggi prestise dan status. Budaya premanisme yang ditiru berikutnya adalah mitos ketangguhan dan keberanian. Pada nilai ini, yang dilihat adalah kehebatan fisik, ditandai kekuatan menanggung pukulan, menerima serangan, hingga diintimidasi polisi dan pihak lain tatkala tertangkap akibat tawuran, serta keberanian melakukan perbuatan berisiko dan nekat.
Tawuran dan peranti hukum
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tak dikenal pertanggungjawaban kolektif. Sanksi lebih ditujukan pada individu. Menjatuhkan sanksi pada kelompok secara merata hampir sangat tak mungkin. Melihat sifat kolektif tawuran yang begitu rumit dan khas, perlu tindakan yang bersumber dari peranti hukum pidana berupa sanksi yang adil dan efektif.
Kekerasan kelompok sering kali dicoba diatur dalam Pasal 170 KUHP. Pasal ini berbunyi, ”Barang siapa terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”. Pasal ini mengandung kendala dan kontroversial. Subyek ”barang siapa” menunjuk pelaku satu orang. Sementara istilah ”dengan tenaga bersama” mengindikasikan suatu kelompok manusia. Delik itu, menurut penjelasannya, tak ditujukan pada kelompok yang tak turut melakukan kekerasan. Ancaman hanya ditujukan kepada yang benar-benar terbuka dan dengan tenaga bersama melakukan tawuran. Mengingat suatu kelompok massa, khususnya pelajar unik sifatnya, delik Pasal 170 sukar diterapkan karena banyak pelaku tawuran sebenarnya terlibat secara tak sengaja atau hanya ikut-ikutan dalam kerumunan.
Orientasi perlu lebih ditekankan pada penegakan isi Pasal 170 dengan mempertimbangkan semua aspek yang saling memengaruhi. Karena masalahnya bukan pada materi hukumnya, faktor sosiologis, psikologis, ataupun budaya harus diperhitungkan. Perlu kerja sama aparat penegak hukum, kepolisian, pendidik (sekolah), dan orangtua (keluarga) untuk menciptakan penegakan hukum yang adil.
Tb Ronny R Nitibaskara Ketua Pusat Kajian Ketahanan Nasional Pascasarjana Universitas Indonesia dan Rektor Universitas Budi Luhur