Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lawan "Bullying", Tumbuhkan Empati

Kompas.com - 05/10/2012, 11:11 WIB
Soelastri Soekirno

Penulis

Berdampak panjang

Banyak alasan pelaku bullying, di antaranya ingin mendisiplinkan yunior, pengin unjuk kuasa, kesal pada bahasa tubuh atau tingkah laku korban. Di sisi lain, sasaran sebagai korban bullying bisa siapa saja. Misalnya, mereka yang dianggap pelaku secara fisik tampak lebih lemah, menjengkelkan, tak mampu berinteraksi dengan pelaku, sampai pada hal fisik seperti gendut dan gagap.

Kondisi itu diperburuk penilaian di sekitar kita yang tak menjadikan bullying sebagai masalah. Akibatnya, sampai menjadi mahasiswa, bahkan sudah bekerja pun, korban bullying tetap tak mampu membela diri. Sedangkan pelaku bullying (karena tak merasa bersalah dan tak pernah dikoreksi ortu/guru) makin menjadi-jadi, kekerasan menyatu dalam kepribadian mereka.

”Pada MOS atau OSPEK, siswa kelas X atau mahasiswa baru harus menerima apa pun perlakuan dari seniornya. Mereka tampak tak berdaya. Saat inilah awal bullying berkelanjutan atau lingkaran bullying terjadi,” kata Diena.

Di sini para senior mendapatkan korban empuk untuk dijadikan sasaran kemarahan atau kekecewaan, yang umumnya mereka bawa dari rumah. Hal yang merisaukan adalah, perilaku jagoan dari senior itu menjadi teladan bagi yuniornya, yang langsung meniru begitu ada kesempatan. ”Apalagi kalau para senior memang berniat merekrut yunior untuk meneruskan tradisi kekerasan.”

Untuk mengurangi bullying, perlu pemahaman tentang perilaku bullying dan seluk beluknya. Ini bisa diajarkan lewat salah satu mata pelajaran di sekolah seperti PPKN atau pendidikan karakter.

”Saat tahu apa itu bullying dan dampaknya, banyak siswa yang memperbaiki sikap mereka. Ada pelaku yang langsung menghentikan sikap kerasnya, bahkan ada anak yang lalu menjadi pelatih untuk mengajarkan antikekerasan seperti meningkatkan sikap respek, kasih, peduli dan toleran,” kata Diena yang mengadakan penelitian bullying pada siswa tingkat SD dan SMA.

Sependapat dengan Diena, menurut Amanda dan Nabila, untuk mengekspresikan diri secara positif, seharusnya bagi remaja disediakan berbagai sarana, seperti untuk berteater, bermusik, olahraga, sampai terlibat dalam kegiatan sosial.

”Buat pelaku bullying lebih baik kalau pelaku diberi sanksi bekerja sosial seperti merawat orang tua, atau membersihkan panti tempat tinggal anak yatim,” kata Amanda.

Diena menambahkan, untuk menolong korban, kita bisa menunjukkan empati, tapi jangan berlebihan. ”Cukup kita ada di sekitar korban, enggak usah tanya perkara bullying yang menimpa dia. Kalau dia cerita, kita dengarkan. Buat korban merasa nyaman, dia biasanya sensitif dan enggak pengin ditemui, cenderung menjauhi sosialisasi.”

Ehm, kalau kita sudah tahu bullying itu negatif buat pelaku maupun korban, enggak benar, kan, kalau membiarkannya tetap terjadi....  (Soelastri Soekirno/ Chris Pudjiastuti)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com