Jakarta, Kompas -
”Suatu saat, semoga orang tak lagi rendah diri saat mengalami skizofrenia atau gangguan jiwa lain,” kata Ketua Umum Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia Bagus Utomo, Senin (8/10), di Jakarta, menjelang berangkat ke Belgia.
Bagus memanfaatkan internet untuk merintis komunitas itu sejak tahun 2001. Tahun 2009, ia mengalihkan media interaktifnya ke jejaring sosial Facebook. Melalui media itu terjaring 6.248 anggota yang peduli kesehatan jiwa di Indonesia.
Kepala Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Agung Kusumawardhani mengatakan, pemerintah belum mampu menyediakan infrastruktur memadai untuk mengoptimalkan edukasi kesehatan jiwa, terutama untuk memutus mata rantai stigma gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia. Tanggung jawab itu diserahkan kepada setiap keluarga.
”Stigma terhadap gangguan jiwa muncul karena ketidakpahaman. Edukasi penting menekankan adanya aspek biologis dan sosial yang menimbulkan gangguan jiwa ini,” katanya.
Stigma menyebabkan penderita gangguan jiwa ”terbuang”. Stigma itu menghambat dan mengurangi kualitas hidup mereka.
Skizofrenia saat ini punya stigma terberat. Menurut Kusumawardhani, skizofrenia punya gangguan dan gejala yang membuat penderita aneh, bahkan menimbulkan kesan membahayakan dan mengganggu orang lain.
”Itu karena terapi bagi penderita skizofrenia terlambat atau tidak efektif,” ujarnya.
Komisi IX DPR saat ini mengusulkan pengesahan Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa. Melalui regulasi baru ini, pemerintah diharapkan bisa berbuat lebih banyak untuk memutus mata rantai stigma gangguan jiwa.(NAW)