Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengubah Kurikulum: Substansi atau Proses?

Kompas.com - 12/10/2012, 02:40 WIB

OLEH ST SULARTO

Perubahan atau pergantian kurikulum dalam sejarah Indonesia merdeka, sembilan kurikulum, sejak Rencana Pembelajaran tahun 1947 hingga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tahun 2006, selalu didasarkan atas argumentasi dan alasan ilmiah. Pun kental dengan kepentingan politis di zamannya. Politik sebagai panglima di zaman Orde Lama, sosial-ekonomi di zaman Orde Baru. Lantas, di zaman reformasi apa? Globalisasi, korupsi, penegakan hukum?

Kepentingan politis dan tuntutan perkembangan zaman menjadi alasan utama perubahan kurikulum. Tetapi, selalu dilupakan kondisi di lapangan: kemajemukan Indonesia, persiapan sekolah, dan kesiapan guru. Jadi, perubahan kurikulum menyangkut substansi atau sekadar proses?

Artikel Wakil Presiden Boediono (Kompas, 27 Agustus 2012) berjudul ”Pendidikan Kunci Pembangunan” tampaknya memacu segera diadakan pergantian kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah terus-menerus memantau kurikulum, memang. Tetapi, begitu ada pernyataan publik dari Boediono—yang disampaikan tidak dalam pidato resmi tetapi lewat artikel—kemudian muncul keterangan pers Mendikbud Mohammad Nuh tentang rencana pemerintah mengganti Kurikulum 2006. Dibentuk dua tim yang terdiri dari aparat Kemendikbud dan sejumlah tokoh—satu untuk pendidikan dasar dan menengah, tim lain pendidikan tinggi.

Kalimat kunci Boediono: pendidikan Indonesia tidak punya konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan. Akibatnya, terjadi kecenderungan memasukkan apa saja yang dianggap penting. Terjadi beban berlebihan pada anak didik, dan tidak jelas apakah anak didik mendapatkan apa yang diperlukan. Substansi pendidikan perlu dibakukan. Rumusannya harus mengacu dan diturunkan dari konsepsi yang jelas mengenai bagaimana kemajuan bangsa akan dikembangkan dan apa peranan pendidikan di dalamnya.

Sebagai bagian dari proses perubahan kurikulum, perlu dilakukan riset mendalam, tidak sekadar argumentasi ilmiah, tetapi didasarkan atas kondisi di lapangan. Tanpa itu akan terjadi kembali sindiran sinis, kurikulum dikendalikan dan dibuat oleh tujuh orang ahli di belakang meja birokrasi.

Yang membebaskan

Persyaratan utama setiap perbaikan kurikulum ialah harus setia pada fokus pendidikan, yakni pembelajaran anak didik (Anita Lie, Kompas, 18 September 2012). Meminjam istilah Mangunwijaya, pendidikan itu harus membebaskan. Kebebasan itu hak asasi, jadi pendidikan harus humanis, yang pernah dirumuskan oleh Drijarkara sebagai humanisasi. Menjadi human-manusiawi, syaratnya tidak hanya terampil, tetapi juga sosial dan berakhlak, rumusan yang sebenarnya sudah tepat diberikan oleh praksis pendidikan INS Kayutanam ataupun Taman Siswa. Jangan sampai pendidikan yang terlalu menekankan kognisi, menafikan hasil didik yang terampil, berpengetahuan, tetapi keblinger.

Ketika praksis pendidikan dirasa terlalu berat—dengan banyaknya titipan sebagai akibat tidak adanya kejelasan substansi—pengurangan jumlah mata pelajaran dilihat sebagai jalan keluar. Rencana penggabungan beberapa mata pelajaran pendidikan dasar-menengah dari 6-14 jam menjadi sekitar 7 jam perlu alasan yang jelas. Sebab, setiap mata pelajaran niscaya ada dasar dan tujuan, plus bagaimana dipraksiskan.

Perkembangan zaman serba cepat—terutama anak generasi Z yang akrab dengan internet, Facebook, dan Twitter yang membuat sekolah cuma salah satu sumber informasi—menuntut anak didik yang mampu berpikir kritis dan mengambil keputusan. Kurikulum dan praksis pendidikan harus bisa mendukungnya. Diperlukan satu suasana kebebasan dalam belajar, juga kebebasan membuat kurikulum dengan guru sebagai salah satu sumber pengetahuan.

Ujian nasional tidak perlu? Tentu saja perlu, tetapi bukan satu-satunya ukuran. Maklum, harus dipertimbangkan faktor heterogenitas budaya, geografis, dan kondisi sarana sekolah.

Perlu satu kurikulum yang berlaku nasional? Harus ada satu kurikulum dasar, memang! Harus ada ujian nasional, memang! Tetapi, hendaknya kurikulum dan ujian nasional itu hanya memberikan dasar-dasar pokok dan selanjutnya setiap wilayah, bahkan setiap sekolah, dipersilakan untuk mengembangkan, kasarnya membuat kurikulum sendiri. Ujian nasional diperlukan sebab merupakan representasi dari realitas kesatuan sehingga tidak ada warga negara kelas satu dan warga negara kelas dua.

Dengan kurikulum sebagai panduan dasar, praksis pendidikannya diterjemahkan sebagai berikut. Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah arena bermain, jenjang SD membangun sikap, SMP mengembangkan keterampilan di samping sikap, SMA membangun pengetahuan.

Syarat pendukung

Kurikulum memang inti pendidikan, tetapi bukan satu-satunya. Agar arah bisa jalan, perlu dipenuhi sejumlah syarat pendukung. Yang dipenuhi dalam proses mulai dari dasar dan tujuan, isi, pengaturan, dan evaluasi proses pendidikan. Untuk merumuskan dasar pendidikan, perlu dievaluasi dengan benar sisi pokok kejelasan substansi mengenai tujuan, langkah-langkah, dan proses pencapaiannya.

Meskipun ada sisi positifnya, evaluasi pilihan berganda—yang mirip tebak cepat—berdampak negatif karena hanya memotret satu sisi dari proses pengajaran. Evaluasi nasional ini perlu dilengkapi dengan esai dan dilakukan beberapa kali dalam satu tahun ajaran.

Biaya menjadi kendala, tetapi dengan alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran total belanja negara—tentu dengan alokasi kebijakan yang tepat—sebenarnya tidak menjadi soal. Ujian-ujian nasional berkala itu bukan hanya bisa mengontrol seberapa jauh hasil pembelajaran yang pokok, tetapi juga memacu guru untuk maju. Anak didik pun tidak stres karena ujian nasional sebagai bagian utuh dari proses pembelajaran.

Lebih dari itu, menempatkan guru sebagai partner dalam kegiatan praksis pendidikan termasuk bagian yang komplementer. Hentikan sikap bahwa mereka hanya melaksanakan. Mereka adalah kunci selain kurikulum.

Perubahan kurikulum itu substansi atau proses? Keduanya. Perubahan harus. Perubahan macam apa? Jangan sampai perubahan lebih dipacu oleh berbagai harapan dan tuntutan terhadap lembaga pendidikan untuk bertanggung jawab pada berbagai penyakit masyarakat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com