KOMPAS.com - Sabtu sore, ketika sebagian orang tengah menikmati akhir pekan, Onno Widodo Purbo berceramah penuh semangat. Di depan seratusan peserta seminar, pakar teknologi informasi dan telekomunikasi ini berupaya menggugah kesadaran mereka untuk berani melawan kemapanan.
Di lantai dasar, para pengunjung berseliweran. Sebagian menikmati gelar wicara (talk show) di panggung terbuka dan sebagian lain sibuk mencobai berbagai teknologi interaktif yang ditawarkan para peserta pameran.
Inilah bagian dari Computer Festival 2012 yang diselenggarakan mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (Fasilkom UI). Berlangsung di gedung Perpustakaan Pusat UI Depok selama dua hari, 13-14 Oktober, acara ini mencoba mendekatkan pengetahuan di bangku kuliah dengan perkembangan teknologi informasi di dunia nyata, memacu kreativitas, sekaligus bersikap kritis melihat kondisi saat ini.
Mandiri berkomunikasi
Dalam ruang seminar di lantai 6, Onno sibuk memprovokasi hadirin. Dengan tema ”Open Base Transceiver Station (BTS)”, ia tidak hanya memperkenalkan apa itu BTS terbuka, tetapi juga membuka peluang kepada mahasiswa untuk belajar BTS terbuka di ICT Watch, lembaga advokasi berinternet sehat, tempat Onno menjadi penasihat.
BTS terbuka adalah suatu BTS untuk teknologi komunikasi seluler digital—dikenal sebagai Global System for Mobile-communication (GSM)—yang kini menjadi standar global untuk komunikasi seluler di seluruh dunia. BTS GSM yang berbasis peranti lunak ini memungkinkan pemilik telepon seluler saling berkomunikasi tanpa melalui jaringan operator komersial.
Merakit BTS terbuka berarti membangun operator seluler dengan harga yang jauh lebih murah. Kalau operator komersial Indonesia menggunakan perangkat BTS dengan harga Rp 1,5 miliar, BTS terbuka cukup bermodalkan perangkat seharga Rp 15 juta. Namun, alat ini perlu diganti antenanya dan ditambah amplifier agar jangkauan operasi bisa lebih luas. ”Total jadi Rp 150 juta, tetapi ini pun masih sepersepuluh harga BTS komersial,” kata Onno.
Hitung-hitungan penghematan terus berlanjut, berselang-seling dengan pengenalan perangkat BTS terbuka dan uji coba penggunaannya. Jika rata-rata seorang mahasiswa menghabiskan pulsa Rp 50.000 sebulan dan UI lebih kurang memiliki 40.000 mahasiswa, uang yang dibelanjakan untuk pulsa mencapai Rp 2 miliar sebulan.
”Kalau menggunakan open BTS, total pengeluaran seluruh UI hanya Rp 200 juta atau per mahasiswa Rp 5.000. Itu pun hanya sekali sebagai modal awal membeli alat. Untuk pemeliharaan dan operasional pasti jauh lebih murah lagi,” kata Onno.
Maka, Onno pun menantang hadirin yang sore itu memadati auditorium. ”Apa kita masih mau terus-menerus diperas operator? ITB sudah punya, kapan UI?”
Diskusi kreatif
Topik BTS terbuka hanyalah salah satu dari enam seminar selama Sabtu-Minggu lalu. Bertema ”Inovasi Teknologi Terbaru dan Pemanfaatannya”, topik lain yang juga dipenuhi pendengar adalah perdagangan elektronik, perkembangan media sosial, augmented reality, innovation of gamification, dan cloud computing. Yang membanggakan, sebagian besar pembicara masih berusia muda, tetapi dengan pengetahuan yang begitu dalam.
Dalam seminar tentang augmented reality, misalnya, ada Aditia Dwiperdana dari Agate Studio. Lulusan informatika ITB ini, bersama rekan-rekannya di Agate Studio, adalah pencipta smash mania, augmented reality game pertama di Indonesia.
Augmented reality adalah teknologi yang menggabungkan benda abstrak dunia maya dengan lingkungan nyata tiga dimensi. Dalam gim smash mania, pemain seolah-olah bertanding bulu tangkis dengan ponsel sebagai raket. Inilah sensasi baru gim di ponsel meski memainkannya belum seseru bulu tangkis yang sesungguhnya.
”Kelemahannya memang masih harus bolak-balik mengintip ke ponsel untuk melihat arah bola, baru memukul,” kata Dwiperdana.