Upaya Sekolah Meredam Tawuran

Kompas.com - 19/10/2012, 15:56 WIB
Dwi As Setianingsih

Penulis

KOMPAS.com - Potensi kekerasan amat dekat dengan energi remaja yang tengah meluap-luap. Untuk itu, sekolah perlu berstrategi mengupayakan berbagai cara agar kekerasan tidak menjadi pilihan di masa-masa pencarian jati diri.

Kepala SMA Labschool Kebayoran, Jakarta, Ulya Latifah, Senin (15/10), menuturkan, pihaknya menerapkan tiga hal utama untuk menghindarkan siswa-siswa dari tawuran. Selain penegakan disiplin dan memperbanyak kegiatan positif, Ulya menekankan pentingnya menjalin hubungan dekat antara guru, siswa, dan orangtua murid.

”Saya, misalnya, bicara di depan seluruh siswa minimal satu kali, yaitu pada hari Jumat seusai seluruh siswa mulai kelas X, XI, dan XII lari bersama. Saya bicara tentang apa yang sudah terjadi seminggu ini, prestasi-prestasi apa yang sudah didapat anak-anak kami di dalam maupun di luar sekolah. Termasuk informasi mengenai anak yang tidak masuk,” katanya.

Hal ini, ujar Ulya, dilakukan agar seluruh komponen sekolah memiliki kesamaan. ”Kami semua berpegangan tangan baik murid, guru, untuk ke satu tujuan. Apa yang ingin kita dapatkan,” kata Ulya.

Dalam hubungan dengan orangtua, sekolah juga melakukan upaya serupa. ”Komunikasi kami lancar. Orangtua tahu benar anaknya ngapain hari ini. Enggak cuma pakai SMS, tapi informasi lisan juga. Jadi ada sentuhan,” kata Ulya. Dia menambahkan, bila kedekatan terjalin baik, masalah akan cepat diketahui dan dapat segera diselesaikan.

Untuk meminimalkan batas antarsiswa, sekolah punya cara tersendiri. Dalam sebuah acara, siswa-siswa kelas X, XI, dan XII dilibatkan sebagai panitia. ”Seperti kemarin, anak-anak bikin konser musik, Music for Peace di SCBD. Kelas XII yang punya acara, kelas XI mencari dana dengan membuat drama musikal dan pelelangan hasil karya foto anak-anak. Uangnya disumbangkan ke konser musik. Anak kelas X menjaga kebersihan,” jelas Ulya.

Karena saling membutuhkan, mereka saling menghormati dan menghargai. ”Sehingga mau keras-keras bagaimana? Mau bullying bagaimana karena yang kelas XII butuh kelas X dan XI, sedangkan kelas XI dan kelas X merasa dihormati,” katanya.

Dia menekankan pentingnya kedekatan. ”Kuncinya kedekatan. Tahu maunya dia (siswa), mengajarkan bagaimana bekerja sama, mengendalikan emosi, bagaimana menghargai orang lain, dan mengatasi masalah yang muncul,” kata Ulya.

Terkait konflik, sekolah juga harus mengajarkan bagaimana menyikapi dengan bijak kalau mereka punya konflik. ”Tidak gengsi mengaku salah. Nilai-nilai itu ditanamkan dalam setiap pertemuan. Hormati yang lain. Ayo berargumentasi,” kata Ulya.

Meskipun hubungan antarsiswa, guru, dan orangtua cair, bukan berarti penegakan disiplin menjadi kendur. Salah satu penegakan disiplin yang dilakukan bila ada siswa yang kedapatan mencontek. ”Langsung dapat nol,” kata Ulya.

Soal keterlambatan, hukuman diberikan berjenjang mulai tidak boleh mengikuti pelajaran selama satu jam pelajaran, lalu beberapa mata pelajaran untuk keterlambatan kedua.

”Kalau tiga kali terlambat, ada surat kepada orangtua. Keempat, orangtua dipanggil. Kelima diskors. Tiga kali diskors silakan cari sekolah yang tidak punya aturan itu. Mana, kan, tidak ada,” kata Ulya.

Penegakan disiplin dilakukan secara konsisten sehingga para siswa memahami konsekuensinya apabila melanggar. ”Alhamdulillah, untuk coba-coba pun mereka tidak,” ungkap Ulya.

Kegiatan yang padat dalam koridor kegiatan positif juga menjadi sarana penting untuk mewadahi energi remaja yang sangat tinggi. Di luar kegiatan belajar yang berlangsung pukul 07.00-15.30, misalnya, setiap siswa wajib mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.

Ada juga kegiatan Trip of Observasi. ”Kita ajak mereka ke desa, bagaimana kehidupan di desa, enggak mudah menjadi orang desa. Mereka harus belajar kenal dengan kehidupan desa. Dengan demikian, dia menghargai, bukan hanya antarsiswa, tapi juga dengan masyarakat desa, peduli dengan lingkungan,” tambah Wakil Kepala SMA Labschool Bidang Kesiswaan Eris Adham.

Turun ke lapangan

Kepala SMA Negeri 8 Jakarta Wieke Salehani mengungkapkan, untuk menekan kecenderungan siswa melakukan tawuran, dia tak segan turun ke lapangan. ”Di SMAN 8 kecenderungan siswa untuk melakukan kekerasan hampir tidak ada. Yang diinginkan adalah berkelompok,” ujar Wieke.

Upaya yang dilakukan Wieke untuk mendeteksi persoalan dilakukan dengan memanggil semua siswa yang gemar berkelompok. ”Saya panggil satu-dua orang, mereka sebutkan teman-temannya, lalu saya panggil orangtuanya,” kata Wieke.

Menurut dia, untuk menyelesaikan masalah seperti itu sebaiknya langsung kepala sekolah. ”Sehingga orangtua lebih merasa ini sangat urgent. Sudah jadi pemikiran utama. Ini bukan hanya masalah anak-anak,” katanya.

Dengan sikap seperti itu, Wieke menuturkan, orangtua biasanya menjadi lebih respect (hormat). Masalah seperti ini bukan masalah sekadar lewat karena bila dibiarkan gerombolnya akan makin banyak. ”Kalau perlu kita kunjungi ke rumah,” katanya.

Sebagai langkah preventif, SMAN 8 menyempurnakan aturan yang ada dengan membuat Panduan Manajemen Sekolah yang di dalamnya antara lain berisi kode etik guru dan tata tertib siswa. ”Ini tatanan yang harus diketahui semua. OSIS tahu, anak baru juga tahu. Tidak boleh ada yang tidak tahu,” katanya.

Untuk membangun kembali kepercayaan diri siswa, Wieke juga tidak segan masuk ke kelas untuk menyapa siswa-siswa yang baru saja mendapat skorsing. ”Saya sapa mereka. Saya support dia lagi agar dia tidak terpojok, anak buangan. Agar murid yang lain tahu, dimanusiakan. Dan, ortu jadi lebih nyaman. Sentuhan khusus ini lebih efektif untuk menyadarkan mereka,” tambah Wieke.

Dalam beberapa hal, Wieke juga melibatkan orangtua murid. Salah satunya saat siswa meminta kegiatan pencinta alam dihidupkan kembali. ”Saya undang ortu pengurus, anggota, alumni senior, dan yang kemarin. Ada 100 orang. Saya sampaikan bahwa ini bukan PR sekolah sendiri. Jadi harus jadi tanggung jawab bersama,” papar Wieke.

Melalui komunikasi yang baik dengan orangtua, kegiatan siswa akan menjadi lebih terpantau. ”Lebih open (peduli), tidak jaga jarak dengan ortunya. Arahkan saja karena mereka, kan, tidak bisa dilarang,” katanya.

Soal penegakan disiplin, mencontek misalnya, Wieke menegaskan, sudah pasti akan dikenai sanksi. ”Kalau nyontek terus, ya, kita panggil ortunya. Kasih peringatan keras,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau