KOMPAS.com - Bagi David Hill, Guru Besar Fakultas Seni dan Budaya Murdoch University, Australia, bahasa merupakan kekuatan lembut (”soft power”) yang dimiliki suatu bangsa. Bagaimana bangsa lain menghargai bahasa suatu negara merupakan tolok ukur pengaruh negara tersebut terhadap bangsa lain di dunia.
Dalam Konferensi Internasional Pengajar Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (KIPBIPA) di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah, awal Oktober lalu, terungkap minat belajar Bahasa Indonesia di Australia terus menurun. Statistik menunjukkan, peminat program studi Bahasa Indonesia di perguruan tinggi Australia menurun 37 persen. Pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat sekolah dari TK hingga SMA di Australia kehilangan 10.000 siswa setiap tahun.
Pendiri Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS) itu menaruh perhatian kepada hal tersebut. Sejak tahun 1995, lembaga yang memfasilitasi para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Australia untuk belajar di Indonesia rata-rata mengirim sekitar 50 mahasiswa setiap semester. Namun, setelah peristiwa bom Bali pertama tahun 2002, pengiriman mahasiswa merosot drastis, hanya sekitar 12 mahasiswa setiap semester.
Pascaperistiwa tersebut, Pemerintah Australia mengeluarkan travel advisory yang mengimbau warganya untuk mempertimbangkan kembali jika ingin berkunjung ke Indonesia. Imbauan itu kemudian sering diterjemahkan sebagai larangan, dan banyak universitas atau sekolah melarang mahasiswa dan siswa mereka pergi ke Indonesia.
Hill mendirikan ACICIS sejak tahun 1994 untuk mempermudah para mahasiswa yang ingin belajar di Indonesia. ACICIS menghubungkan perguruan tinggi di Australia dengan di Indonesia, dan mengurus berbagai persyaratan, termasuk visa. Lembaga itu mendapat bantuan dana dari pemerintah, dan mulai mengirim mahasiswa untuk pertama kali pada tahun 1995.
Warga biasa
Setelah menyelesaikan program doktor di Australian National University, Hill dipanggil untuk mengajar di Universitas Murdoch dan sekaligus membuat program in country studies. Dia merasa harus mendirikan ACICIS untuk mewujudkan program itu. Sebab, saat dia kuliah di ANU terjadi pemotongan anggaran dari pemerintah yang kemudian berdampak pada berkurangnya jam kuliah yang diterima mahasiswa.
”Dalam waktu tiga tahun dan dengan jam yang berkurang dari tujuh jam menjadi hanya tiga jam untuk Bahasa Indonesia, membuat kami, mahasiswa dan dosen, frustrasi. Tiga tahun sama sekali tidak cukup dan kami tidak mendapat apa- apa,” ujarnya.
Sejak saat itu muncul pemikiran bahwa akan lebih optimal jika mahasiswa yang belajar mengenai bahasa atau budaya negara tertentu menempuh studi di negara terkait. Untuk itu program in country studies mulai dilaksanakan, dengan menambah satu tahun dari masa kuliah selama tiga tahun. Dengan demikian, mahasiswa menempuh studi selama empat tahun.
”Dengan belajar langsung ke negara yang bersangkutan mahasiswa lebih mudah berkembang karena mengalami langsung tinggal di negara yang dipelajari. Mereka tidak hanya menjadi tamu, tetapi menjalani peran sebagai warga biasa,” ujarnya.
ACICIS memiliki kantor perwakilan di Yogyakarta. Di sana para mahasiswa Australia dapat memperoleh informasi mengenai tempat indekos, transportasi umum, hingga cara berpakaian serta tata krama yang harus dijunjung. Dalam perjalanan, kata Hill, tidak semua berjalan mulus.
”Setiap semester selalu ada mahasiswa yang jadi korban kecelakaan, kena demam berdarah dengue, sampai kemalingan. Begitulah. Mahasiswa jadi tidak hanya melihat Indonesia melalui kacamata berwarna indah, tetapi mereka mengalami betul sampai hal-hal yang buruk,” tuturnya tertawa.
Kekuatan bahasa
Hill menyesalkan berbagai peristiwa di Indonesia yang menyebabkan orang Australia berpikir dua kali untuk berkunjung ke negara ini. Bahkan, banyak orang Australia kemudian beranggapan kehadiran mereka tidak diinginkan di Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia masih menjadi bahasa strategis (national strategic language) di Australia, yang artinya membuka kemungkinan terjadinya kerja sama di berbagai bidang.
”Naik turunnya minat belajar bahasa sesungguhnya merupakan barometer hubungan antara kita. Ini termasuk salah satu soft power dalam hubungan internasional antarnegara. Kalau minat orang Australia naik, itu berarti Indonesia semakin dianggap serius. Sebaliknya, jika menurun berarti Indonesia dianggap tidak penting lagi,” ujar Hill.
Hal itu, lanjut Hill, tidak hanya berlaku pada negara Australia saja, tetapi juga dengan negara-negara lain. Kalau minat mempelajari bahasa menurun di suatu negara, berarti soft power Indonesia menurun. Sebenarnya hal itu sangat disayangkan sebab banyak kesempatan kerja sama menjadi hilang.
Meski demikian, kenyataan itu tidak menyurutkan semangat Hill untuk terus mengirimkan mahasiswa melalui ACICIS belajar di perguruan tinggi di Indonesia. Hingga kini sudah ada 25 universitas di Australia yang mengirimkan mahasiswanya ke Indonesia melalui ACICIS. Di Indonesia, ada enam universitas yang menjadi mitra ACICIS, yaitu Universitas Gadjah Mada, Universitas Muhammadiyah Malang, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, Universitas Sanata Dharma, dan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta.