Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kejahatan Seksual Anak Kian Mengancam

Kompas.com - 29/10/2012, 18:09 WIB
Luki Aulia

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Perkembangan teknologi komunikasi informasi, terutama akses pada internet, semakin meningkatkan ancaman kejahatan seksual terhadap anak. Apalagi dengan meluasnya penggunaan telepon seluler atau gadget canggih lainnya. Orangtua atau keluarga kian sulit mengawasi aktivitas anak di dunia maya.

Hal itu mengemuka dalam konferensi internasional bertema "Kejahatan Seksual terhadap Anak Secara Online" yang diselenggarakan End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT), Kedutaan Besar Perancis, dan Terre des Hommes bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 29-30 Oktober, di Jakarta.

Menurut Presiden ECPAT Irwanto, teknologi internet memperluas jangkauan kejahatan seksual terhadap anak sampai ke ruang belajar anak di rumah. Berbagai teknik dikembangkan pelaku kejahatan untuk menggiring anak menjadi korban. Hal ini yang kerap tidak disadari orangtua dan masyarakat.

"Banyak orangtua kaget melihat foto-foto seronok anaknya di internet. Masyarakat tidak pernah belajar kalau gadget membuka jalan bagi pelaku kejahatan," ujarnya.

Terry M Kinney, resident legal advisor di Departemen Kehakiman AS, mengingatkan, lebih dari 10.000 foto pornografi anak diunggah ke internet setiap pekan dan usia anak pun semakin muda.

Ada kekhawatiran para pelaku kejahatan akan berpindah-pindah lokasi mencari anak terutama yang berada di negara-negara miskin dan yang belum memiliki aturan perundang-undangan yang kuat untuk melindungi anak dari eksploitasi dan kejahatan seksual. Hal ini sudah terjadi di Filipina.

Pengalaman ini diutarakan Perwakilan Kantor Regional Asia Tenggara Terre des Hommes Netherlands, Lenny Kling. Bagi keluarga miskin di Filipina, pose seronok anak yang diunggah di internet bisa menghasilkan uang dengan mudah. Mereka menganggap hal ini tidak berisiko bagi anak karena tidak ada kontak fisik. Padahal, anak akan mengalami trauma psikis yang sama parahnya dengan trauma fisik.

"Tren prostitusi mulai bergeser dari jalanan ke rumah. Polisi kesulitan menangani kasus ini karena menjadi isu domestik. Aparat hukum tidak bisa ikut campur kalau sudah masuk ke lingkup rumah. Kita baru bisa bertindak kalau anak sudah keluar rumah," kata Kling.

Blokir

Untuk mencegah meluasnya kejahatan seksual, sejumlah negara berusaha memblokir situs-situs yang dicurigai menjadi sarana interaksi dan transaksi kejahatan seksual. Hal ini juga dilakukan Pemerintah Indonesia. Direktur Jenderal Telematika dan Aplikasi Kementerian Komunikasi dan Informatika Ashwin Sasongko mengatakan, pihaknya menyadari bahwa tren kejahatan akhir-akhir ini adalah kejahatan berbasis teknologi informasi.

Untuk mencegah hal itu, berbagai situs pornografi telah diblokir. Namun, pemerintah di beberapa negara kesulitan mengecek dan memblokir semua situs dalam waktu cepat. Untuk itu bantuan informasi dari masyarakat berperan penting. Menurut Wakil Duta Besar Perancis untuk Indonesia Stephane Baumgarth, pemerintah tidak mungkin bisa menutup semua situs apalagi dalam waktu cepat.

Setiap kali menutup satu situs dalam waktu cepat akan ada situs lain dengan nama baru, tetapi sama isinya. Karena itu, langkah efektif untuk mengantisipasi kejahatan seksual anak tetap ada pada pendidikan di keluarga.

"Kuncinya tetap kembali pada pendidikan di rumah oleh keluarga. Masyarakat harus dididik bahwa membiarkan anak beraktivitas di situs-situs pornografi itu juga termasuk kejahatan," kata Baumgarth.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari mengingatkan orangtua dan masyarakat untuk selalu mendampingi anaknya ketika mengakses internet. Ini penting mengingat kejahatan seksual anak melalui online menjadi pemicu berbagai kasus kekerasan dan perdagangan anak.

Hasil survei yang pernah dilakukan Yayasan Kita dan Buah Hati pada tahun 2008 menunjukkan 36 persen anak mengakses materi pornografi di rumah, 12 persen di rumah teman, dan 18 persen di warung internet.

Selain pemberdayaan orangtua, kemauan politik pemerintah juga penting untuk mencegah kejahatan seksual anak. Dari aspek legislasi, Indonesia sudah memiliki aturan perundang-undangan yang cukup lengkap dan komprehensif antara lain Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan UU Nomor 10 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak.

"Tetapi semua aturan ini tidak ada gunanya jika penegak hukum dan masyarakat buta hukum dan tidak berperspektif gender," kata Linda.

Dalam konferensi ini juga disepakati bahwa negara-negara di kawasan Asia Tenggara perlu membangun kerja sama hukum untuk menghentikan pornografi dan eksploitasi seksual anak.

Pasalnya, kejahatan seksual terhadap anak secara online ini bersifat lintas negara. Untuk sementara sudah ada mekanisme regional ASEAN yang terbentuk pada 11 Mei 2010, yakni Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com