Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembangunan Manusia Melorot

Kompas.com - 30/10/2012, 03:11 WIB

Jakarta, Kompas - Implementasi desentralisasi sebagai perombakan dari sistem sentralistik belum mampu meningkatkan indeks pembangunan manusia. Dalam empat tahun, IPM justru merosot hingga di posisi ke-124 dari 179 negara. Korupsi juga menjadi masalah besar desentralisasi.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengemukakan hal itu dalam konferensi internasional bertajuk ”Melihat Kembali–Berpikir ke Depan: Belajar dari 20 Tahun Dukungan Desentralisasi” di Jakarta, Senin (29/10). Konferensi ini diselenggarakan oleh Lembaga Kerja Sama Teknis Jerman (Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit/GIZ) atas dukungan Pemerintah Republik Federal Jerman melalui Kementerian Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ).

Berbekal data, Djohermansyah menunjukkan, dari 179 negara, IPM tahun 2008 menempatkan Indonesia pada posisi ke-109, tetapi tahun 2009, melorot di posisi ke-111. Tahun 2010, Indonesia sempat naik di posisi ke-108, tetapi kemudian melorot jauh hingga ke posisi ke-124.

Menurut dia, pelaksanaan desentralisasi mestinya memampukan Indonesia dalam meningkatkan IPM. Namun, kenyataannya, pelaksanaan desentralisasi masih banyak dihadang permasalahan, terutama politik uang dalam teknis penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan konflik kepala daerah, seperti konflik antara bupati dan wakilnya.

”Ditambah lagi, banyaknya pejabat daerah yang diserahkan kewenangan penuh mengelola daerah justru tergelincir dalam kasus korupsi. Dari perhitungan kami, ada 278 bupati/wali kota ataupun gubernur yang tersangkut kasus korupsi,” ujar Djohermansyah.

Anggota Dewan Penasihat Kepresidenan M Ryaas Rasyid yang juga penggagas sistem desentralisasi mengatakan, banyak faktor yang mengakibatkan terjadi korupsi. Perekrutan partai politik dalam mengusung calon kepala daerah tidak ketat dalam melakukan seleksi. Tidak ada jaminan integritas calon.

Selain itu, kata Ryaas, pola pikir masyarakat dalam memilih calon kepala daerah dalam setiap pemilihan kepala daerah hanya berdasarkan popularitas. Sosialisasi harus dikedepankan, terutama oleh media massa. Kemudian, faktor yang menyebabkan korupsi adalah perhitungan gaji kepala daerah hanya mencapai Rp 15 juta hingga Rp 20 juta per bulan. Sementara proses pilkada diperkirakan sudah mengeluarkan uang puluhan juta, bahkan miliaran rupiah. Inilah yang mendorong terjadinya korupsi.

Wali Kota Yogyakarta H Herry Zudianto mengatakan, ”Dukungan GIZ membuat pemda Yogyakarta mampu melakukan banyak inovasi dalam membangun daerah. Soal perizinan, misalnya. Kami membangun sistem yang membuat perizinan memiliki kepastian waktu, biaya, dan transparan prosesnya. Ini menjadi kebanggaan bagi penanam modal asing maupun dalam negeri.”

Menurut Herry, banyak daerah tidak siap dengan pengembangan inovasi yang mengedepankan dialogis dan partisipasi publik. Akibatnya, kepala daerah berjalan sendiri hingga menggunakan caranya sendiri yang justru menyebabkan korupsi.

Namun, Herry juga menyayangkan karena undang-undang yang dibuat pemerintah pusat justru membuat kewenangan bagi daerah yang sudah merasa maju menjadi terkesan dibatasi. Larangan pemerintah pusat selalu bersifat generalisasi. Dasar sebuah larangan dibuat hanya dari kondisi daerah yang paling jelek.

Selama ini dukungan Pemerintah Jerman terhadap desentralisasi dimulai tahun 1992 melalui proyek Support for Decentralisation Measures (SfDM). Ketika sistem pemerintahan Indonesia sentralistik, proyek ini berhasil mengembangkan berbagai gagasan dan daerah percontohan. Setelah Soeharto, GIZ berada dalam posisi strategis untuk mendukung transisi ke suatu sistem tata kelola pemerintahan berbasis otonomi daerah. (OSA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com