Kompleksitas Konflik Lampung

Kompas.com - 04/11/2012, 08:58 WIB

Firman Noor

Munculnya berbagai kasus kerusuhan di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa potensi konflik tak segera selesai dengan terbukanya keran demokratisasi. Dalam konteks Indonesia, Baladas Goshal (2004) telah memperingatkan, terlepas sisi positif yang dibawanya, demokratisasi juga memberikan peluang bagi meluasnya potensi konflik.

Belum lama ini konflik besar kembali terjadi. Kali ini menimpa Lampung Selatan, tepatnya di wilayah Kalianda. Dalam kasus ini, soal pelecehan seksual yang diduga sebagai pemicu konflik, yang telah menelan belasan korban jiwa ini, sebenarnya hanyalah puncak dari gunung es.

Dilihat dari akar penyebabnya, kasus Lampung—dalam batas-batas tertentu— dapat dikatakan bersifat klasik. Di dalamnya melibatkan tipe konflik yang bernuansa primordial, yang mengingatkan kita pada konflik yang terjadi di Sampit, Sambas, Kalbar, dan sejumlah daerah pascareformasi. Meski sebagian kalangan melihat konflik antarkampung di Lampung ini tak terkait masalah etnisitas, mengabaikan faktor ini juga kurang tepat. Hal ini mengingat secara kasat mata pihak-pihak yang berkonflik memiliki keterkaitan kuat dengan kedua etnis yang terlibat, yakni etnis Lampung dan Bali.

Sejak kehadirannya, etnis Bali—berbeda dengan orang Jawa—dipandang membawa persoalan tersendiri bagi sebagian masyarakat Lampung. Gugus persoalan ini mencakup ”legitimasi kehadiran” masyarakat Bali yang dipandang masih bermasalah karena menempati wilayah yang belum sepenuhnya diizinkan ataupun karena perbedaan adat kebiasaan dan agama. Kenyataan pula bahwa kedua etnis relatif hidup terpisah dalam nuansa yang eksklusif (enclave). Tidak mengherankan jika kedua etnis itu kerap masih merasa asing satu dan lainnya. Hal ini terjadi terutama di Lampung Selatan dan Lampung Utara.

Meski secara kultural sebenarnya kedua etnis itu memiliki kearifan lokal yang dapat diandalkan untuk menciptakan kerukunan dan mencegah konflik, tetapi dalam berbagai kasus konflik terlihat bahwa kearifan lokal itu seolah sirna.

Masyarakat Lampung punya kearifan lokal berupa Piil Pesenggiri (Piil), yang di dalamnya terkait soal kehormatan diri yang muncul karena kemampuan mengolah kedewasaan berpikir dan berperilaku. Di sini kemampuan hidup berdampingan dengan berbagai kalangan, termasuk pendatang, merupakan salah satu inti ajaran Piil itu. Begitu juga masyarakat Bali dengan ajaran Bhinneka Tunggal Ika, Tatwam Asi (kamu adalah aku dan aku adalah kamu) dan Salunglung Sabayantaka, yang mengajarkan demikian dalam arti penting hidup berdampingan secara damai.

Situasi di Lampung ini cerminan bahwa nilai-nilai kearifan lokal makin terpinggirkan. Setidaknya mengalami pergeseran makna. Konsep Piil, misalnya, mengalami penyempitan makna sekadar membela harga diri. Alih-alih dikaitkan keharusan kedewasaan berperilaku, masalah ”kehormatan diri” justru jadi alasan pembenaran untuk menempuh cara apa pun sejauh itu dianggap dapat menjaga harga diri. Sementara respons dari kalangan Bali menunjukkan bahwa nilai-nilai kedamaian dan toleransi yang dianut juga tidak mampu bekerja dengan sempurna.

Tentu saja, persoalan primordial ini tidak berdiri sendirian. Dalam kasus Lampung, persoalan ini berkelindan dengan kenyataan adanya disparitas ekonomi, yang bagi sementara kalangan sudah makin terlihat nyata. Kaum pendatang, terutama Bali, merupakan komunitas yang cukup sejahtera, sementara etnis Lampung tidak cukup baik kondisinya sebagai ”tuan rumah”. Di sini, persoalan klasik kecemburuan sosial antara ”pribumi” dengan ”pendatang” telah cukup membutakan akal sehat dan menjadi rumput kering yang berpotensi membara manakala menemukan pemantiknya.

Di mana negara?

Lepas dari itu, kasus kerusuhan Lampung ini sebenarnya dapat segera tertanggulangi dengan baik jika aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian, dapat memainkan peran yang lebih signifikan. Sebagai institusi yang menetapkan peran preventif (pencegahan) sebagai bagian tugas pokoknya, kepolisian seharusnya sejak dini dapat mendeteksi dan mengantisipasi potensi apa yang akan terjadi ke depan.

Dengan sederet institusi pelengkap untuk mendeteksi segenap potensi negatif yang ada di masyarakat, kepolisian jelas salah satu institusi yang seharusnya dapat memimpin dalam soal-soal yang terkait dengan keresahan masyarakat. Apalagi kenyataan bahwa kasus Lampung terakhir ini bukanlah kasus yang benar-benar baru sebab memiliki preseden di awal tahun ini yang cukup terang benderang.

Namun, justru di sinilah letak persoalan lain dari kasus Lampung—juga berbagai kasus konflik horizontal akar rumput lainnya—di mana peran aparat keamanan terlihat demikian kedodoran. Dengan demikian, tidak aneh jika kemudian masyarakat mempertanyakan kualitas SDM, efektivitas strategi atau bahkan komitmen dari aparat keamanan kita.

Persoalan lain adalah sikap pemerintah, khususnya pemerintah daerah, yang masih memercayakan kemampuan masyarakat dan tokoh-tokohnya dalam menyelesaikan persoalan konflik secara mandiri. Dalam hal ini resolusi konflik sebenarnya belum terlembaga secara memadai. Untuk itu, diperlukan upaya membentuk dan merevitalisasi lembaga-lembaga, baik adat maupun pemerintahan, yang terkait dengan persoalan primordial itu secara lebih serius. Tujuan utamanya jelas agar potensi konflik yang melibatkan unsur etnis dapat menemukan jalur penyelesaian secara lebih cepat, berkeadilan, dan komprehensif.

Solusi jangka pendek adalah segera menyelesaikan persoalan itu secara tepat, dengan sesedikit mungkin menimbulkan resistensi dari kalangan yang terlibat. Di sini diperlukan kerja sama banyak pihak. Tidak saja dari kalangan masyarakat, tokoh-tokoh, ataupun ormas, tetapi juga aparat dan pemerintah, termasuk pengadilan. Dalam perspektif manajemen resolusi konflik pihak ketiga, dalam hal ini pengadilan atau institusi yang dipercaya dapat memainkan peran itu, memainkan peran yang amat krusial. Kegagalan pada level ini kerap akan cenderung memberikan preseden negatif dan memperburuk situasi.

Dalam konteks jangka menengah, solusi yang mungkin adalah memperbaiki kinerja dan profesionalisme aparat keamanan agar dapat lebih sensitif dan efektif mencegah serta menyelesaikan rangkaian konflik sejak dini. Dibutuhkan pula sebuah desain besar dan pelembagaan pencegahan dan penyelesaian konflik yang lebih kontekstual dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan dan masyarakat di dalamnya.

Dalam konteks jangka panjang, jelaslah bahwa persoalan segregasi primordial dan disparitas ekonomi yang selalu jadi biang keladi kemunculan konflik harus dapat direduksi semaksimal mungkin.

Firman Noor Peneliti Politik LIPI

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


    Terkini Lainnya

    Kemendikdasmen Pertimbangkan 2 Opsi Bantu Siswa Korban Kekerasan dan Asusila

    Kemendikdasmen Pertimbangkan 2 Opsi Bantu Siswa Korban Kekerasan dan Asusila

    Edu
    Ada 2 Cara Cek Hasil SKD CPNS 2024, Klik sscasn.bkn.go.id

    Ada 2 Cara Cek Hasil SKD CPNS 2024, Klik sscasn.bkn.go.id

    Edu
    7 Negara Paling Populer untuk Kuliah di Luar Negeri dan Beasiswa Pilihannya

    7 Negara Paling Populer untuk Kuliah di Luar Negeri dan Beasiswa Pilihannya

    Edu
    2 Alumni SMA Taruna Nusantara Jadi Dirut BUMN Garuda dan Pertamina

    2 Alumni SMA Taruna Nusantara Jadi Dirut BUMN Garuda dan Pertamina

    Edu
    Sosok Dirut Pertamina Simon Aloysius, Lulusan SMA Taruna Nusantara dan ITB

    Sosok Dirut Pertamina Simon Aloysius, Lulusan SMA Taruna Nusantara dan ITB

    Edu
    Bakal Ada Polisi Mengajar atau Relawan Mengajar, Ini Kata Mendikdasmen

    Bakal Ada Polisi Mengajar atau Relawan Mengajar, Ini Kata Mendikdasmen

    Edu
    Mendikdasmen Sebut Program Makan Bergizi Gratis Bagian dari Pendidikan Karakter

    Mendikdasmen Sebut Program Makan Bergizi Gratis Bagian dari Pendidikan Karakter

    Edu
    Dulu Pilot Kini Dirut Garuda, Sosok Wamildan Tsani Lulusan SMA Taruna Nusantara dan AAU

    Dulu Pilot Kini Dirut Garuda, Sosok Wamildan Tsani Lulusan SMA Taruna Nusantara dan AAU

    Edu
    Cerita Novika, Alumnus UGM Jadi Penyuluh Pertanian di Daerah 3T

    Cerita Novika, Alumnus UGM Jadi Penyuluh Pertanian di Daerah 3T

    Edu
    Kisah Pak Theo, Guru yang Mengajar Anak Suku Moskona di Teluk Bintuni, Papua Barat

    Kisah Pak Theo, Guru yang Mengajar Anak Suku Moskona di Teluk Bintuni, Papua Barat

    Edu
    Profil Wamildan Tsani Panjaitan, Dirut Baru Garuda yang Lulusan Tanus  dan AAU

    Profil Wamildan Tsani Panjaitan, Dirut Baru Garuda yang Lulusan Tanus dan AAU

    Edu
    BRIN Beri Beasiswa Program Degree By Research bagi S2-S3, Ada Bantuan UKT dan Riset

    BRIN Beri Beasiswa Program Degree By Research bagi S2-S3, Ada Bantuan UKT dan Riset

    Edu
    Ubah Wajah Industri Jamu, Irwan Hidayat Raih Gelar Honoris Causa dari Unnes

    Ubah Wajah Industri Jamu, Irwan Hidayat Raih Gelar Honoris Causa dari Unnes

    Edu
    “Pangan Kasih dari Hati ke Rasa”, Gerakan Solidaritas Orang Muda untuk Akses Pangan

    “Pangan Kasih dari Hati ke Rasa”, Gerakan Solidaritas Orang Muda untuk Akses Pangan

    Edu
    Inovasi Siswa SMAN 8 Purworejo, Bikin Lampu Otomatis hingga Buka Pintu dengan KTP

    Inovasi Siswa SMAN 8 Purworejo, Bikin Lampu Otomatis hingga Buka Pintu dengan KTP

    Edu
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau