Kekhawatiran itu terungkap dalam diskusi ”Kepedulian Pengembangan Sains Dasar” yang diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Jakarta, Rabu (7/11). Para praktisi pendidikan peserta diskusi mengeluhkan buruknya kualitas pendidikan, termasuk sains, karena banyak menekankan hafalan teori dan rumus serta mengabaikan penalaran dan logika.
”Jika matematika semu dan sains semu masih terus diajarkan seperti saat ini, badai budaya yang akan kita tuai nantinya,” kata Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pengajaran matematika semu dan sains semu telah menghasilkan generasi yang merasa paling benar serta sulit menoleransi perbedaan. Pendidikan sains dan matematika yang benar seharusnya membuat seseorang makin tertarik dan makin tahu keterbatasannya.
Guru Besar Fisika Universitas Indonesia (UI) Terry Mart menegaskan, sains dasar menyumbang kemajuan serta motivator sekaligus tiang penopang riset di segala bidang. Di sejumlah negara maju, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura, sains dasar juga menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi.
Anggota Komisi Ilmu Sosial AIPI yang juga Guru Besar Ekonomi UI Mayling Oey-Gardiner mengungkapkan, rendahnya kemampuan mahasiswa Indonesia mengajukan pertanyaan, menyampaikan pendapat, dan menuliskan gagasan. ”Ini karena kemampuan bahasa Indonesia mereka buruk sekali. Anak tak bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baik dan sopan,” katanya.
Ini adalah buah dari diremehkannya pengajaran bahasa Indonesia. Pengajaran bahasa yang seharusnya mendorong apresiasi siswa juga berubah jadi hafalan.
Mayling menekankan perlunya dikembangkan pendidikan ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial dengan paradigma liberal arts. Paradigma ini mendorong anak berpikir bebas, kreatif, dan bertanggung jawab secara ilmiah.
Anggota Komisi Ilmu Rekayasa AIPI yang juga Guru Besar di Program Studi Teknik Mesin ITB Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan, pendidikan sains yang baik butuh guru yang baik. Karena itu, perlu mengembalikan peran guru yang sesungguhnya.
Langkah awal yang harus dilakukan adalah meningkatkan kemampuan guru. Latar belakang pendidikan guru seharusnya berasal dari program studi non-kependidikan. Setelah itu, mereka yang berminat menjadi guru dapat mengikuti pendidikan profesi guru.