Pengantar Redaksi
Anak petani dari Limbangan, Garut, Jawa Barat, ini layak disebut sebagai ikon antikorupsi di Indonesia. Jejaknya dalam pemberantasan korupsi terbaca tegas sejak menjadi Koordinator Indonesia Corruption Watch. Pengakuan atas kiprahnya itu, antara lain, ditandai dengan penghargaan Ramon Magsaysay 2005 dari Yayasan Magsaysay, Filipina (2005). Di dalam negeri, alumnus berprestasi IKIP Bandung itu juga mendapat penghargaan Suardi Tasrif Award (1999).
Walaupun mendapat berbagai penghargaan, Teten menganggap apa yang dilakukannya itu sudah seharusnya dilakukan. Korupsi sudah demikian menggurita dan merusak semua sendi-sendi kehidupan bangsa. Penegakan hukum yang masih belum semestinya membuat korupsi juga semakin sulit diberantas. Namun, Teten tetap optimistis untuk tetap bergerak dan membebaskan negeri ini dari kubangan korupsi yang menjijikkan. ”Melawan korupsi adalah pekerjaan tanpa akhir dan bukan perkara mudah untuk mengukur keberhasilannya,” ujarnya.
Salam antikorupsi Bapak Teten Masduki! Bagaimana membangun keberanian ketika Bapak membongkar kasus-kasus yang melibatkan petinggi negara yang tentu memiliki risiko tinggi, misalnya kasus suap yang diduga melibatkan Jaksa Agung (saat itu) Andi M Ghalib pada era pemerintahan BJ Habibie? Adakah upaya signifikan yang harus dilakukan, baik oleh aparat penegak hukum (KPK) maupun komponen masyarakat, untuk memerangi korupsi yang semakin menjadi-jadi di negeri kita Indonesia?
(Kristian Prawoko, Kulon Progo, Yogyakarta)
Rasa takut biasanya muncul kalau kita merasa akan kehilangan sesuatu dari diri kita. Saya ikhlas saja pada Yang Maha Kuasa. Pada dasarnya saya tidak bisa menutup mata terhadap ketidakadilan yang terjadi di depan mata. Korupsi punya daya rusak luar biasa, yang membuat rakyat miskin di tengah kekayaan alam yang melimpah.
Kasus Jaksa Agung Andi Ghalib adalah simbol kebobrokan hukum sehingga korupsi merajalela dan karena itu semua cabang pemerintahan dikuasai para pencuri. Untuk melawan korupsi supaya dipercaya harus mulai dari yang besar. KPK harus punya peta jalan untuk melawan korupsi supaya efektif. Harus dimulai dari membersihkan aparat hukum, politik, dan bisnis.
Korupsi di birokrasi pemerintah relatif mudah dibersihkan kalau hukum sudah tegak dan kesejahteraan mereka diperbaiki.
Apakah negara kita bisa menjadi clean government kayak Singapura? Mimpi kali, ye?
(Hanif Sjarif, xxxx@gmail.com)
Saya optimistis kita bisa keluar dari kubangan korupsi. Ada banyak contoh negara yang sukses, dan kita bisa belajar dari mereka. Singapura menjadi relatif bersih dan makmur dimulai oleh keinginan keras dari Lee Kuan Yew untuk menyejahterakan masyarakat. Singapura memulai dengan membenahi sumber pendapatannya. Meski catatan saya, Singapura di sisi lain sangat kontroversial, toleran terhadap investasi dana-dana kotor dari luar negeri.
Di Indonesia saya belum melihat ada pemimpin yang punya komitmen kuat untuk menyejahterakan masyarakat dan melihat korupsi sebagai faktor utama penghambat.
Saya salut dengan usaha yang dilakukan Mas Teten Masduki dalam memberantas korupsi. Namun, yang janggal, dalam praktik korupsi selama ini adalah penegakan korupsi selalu pada tingkat nasional, sedangkan penanganan korupsi di daerah tidak seperti penanganan di pusat. Bagaimana seharusnya penanganan korupsi yang terjadi di desa?
(Bagus Supriadi, Probolinggo)
Korupsi pascareformasi menyebar ke mana-mana. Alokasi dana desa pun tak luput dari korupsi. Sekarang ini jangan terlalu berharap pada aparat hukum atau pemerintah untuk membenahinya. Harus dimulai oleh masyarakat sendiri, seperti membangun siskamling. Mengontrol aparat desa atau kecamatan tidak terlalu sulit daripada mengontrol bupati atau gubernur.
Saya yakin kalau masyarakat kritis dan terorganisasi dengan baik, koruptor kelas desa bisa mudah ditaklukan.
Menurut Kang Teten, apa yang salah dengan negeri ini sehingga korupsi sulit sekali diberantas? Apakah karena hukumnya yang lemah atau karena aparat dan para penegak hukum juga korup? (Haryo Gunanto, Bandung Barat)
Tidak ada jalan pintas melawan korupsi. Sebab, korupsi bukan semata-mata karena kegagalan pemerintahan, seperti hukum, birokrasi, parlemen, dan sistem fiskal, melainkan sejauh mana ada relasi yang seimbang antara masyarakat, pemerintah, dan bisnis. Sekarang aparat hukum masih menjadi bagian dari korupsi.
Begitu juga anggota parlemen yang seharusnya mengawasi pemerintahan. Hukuman bagi koruptor rata-rata di bawah dua tahun, dan lebih dari separuhnya bebas, bagaimana mungkin bisa ada efek jera.
Namun, di sisi lain, masyarakatnya juga sangat toleran terhadap korupsi. Orang yang dipenjara karena kasus korupsi masih dipilih menjadi bupati atau anggota DPRD. Dunia bisnis pun masih banyak yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kontrak-kontrak atau fasilitas pemerintah.
Seandainya suatu saat nanti Anda adalah salah satu calon penerima Nobel, apa hal besar yang Anda harap telah Anda lakukan pada saat itu sehingga Anda pantas menerima Nobel?
(Jeffri, Jakarta)
Saya bukan pemburu hadiah atau penghargaan. Waktu saya menerima Ramon Magsaysay Award lima tahun lalu, saya merasa tidak ada yang istimewa dengan apa yang saya lakukan karena melawan korupsi adalah tugas kita sebagai warga negara. Agama pun mengajarkan kita seperti itu
Mengapa rakyat negeri kita terjebak dalam materialisme? Antara lain, orang yang sukses adalah orang yang kaya secara materi, memiliki apa saja. Orang-orang kaya hargai masyarakat kita, bukan orang yang jujur dan bersih. Orang pun mau melakukan korupsi dengan cara apa pun agar menjadi kaya dan dihargai orang?
(Juni Aristiaadi, Jalan Pandanaran, Semarang)
Tanpa kita sadari, setiap hari kita dicekoki budaya konsumerisme melalui berbagai media. Para elite bangsa ini juga doyan mempertontonkan gaya hidup mewah mereka di tengah kesulitan masyarakatnya.
Kesuksesan seseorang sekarang diukur dari keberhasilan ekonominya. Namun, dalam hal lain, mungkin semua orang di sini tidak merasa aman kalau tidak memiliki kepemilikan pribadi. Transportasi umum buruk, pendidikan dan kesehatan mahal, dan seterusnya. Negara tidak hadir dalam memberikan jaminan sosial bagi rakyatnya.
Saya sangat mengapresiasi perjuangan Mas Teten melawan korupsi di negeri ini. Sejauh ini apakah Mas Teten merasa sudah berhasil atau belum dengan apa yang diperjuangkan? Apalagi, dengan semakin maraknya kasus-kasus korupsi belakangan ini yang banyak melibatkan pejabat-pejabat publik dari eksekutif, yudikatif, ataupun legistatif.
(Timotius S Ertanto, Bandung)
Melawan korupsi adalah pekerjaan tanpa akhir dan bukan perkara mudah untuk mengukur keberhasilannya. Kasus koruspi akan terus bermunculan di tengah kebebasan media. Yang saya senang gerakan masyarakat antikorupsi terus tumbuh di mana-mana. Media pun terus gencar membongkar kasus-kasus korupsi. Hanya, sayangnya, kita tidak punya mitra politik dan aparat hukumnya tidak mendukung. Bisa dibayangkan, tanpa perlindungan masyarakat antikorupsi, barangkali KPK sudah lama dihancurkan oleh jaringan prokorupsi.
Sulit untuk menepis kesan pemberantasan korupsi di negeri ini setengah-setengah dan pilih bulu, lebih banyak wacana dan pidato daripada tindakan penegakan hukum terhadap para pelaku korupsi. Masihkah rakyat bisa percaya bahwa hukum memang ditegakkan untuk memberantas korupsi?
(S Trisno, Ciledug, Tangerang)
Saya setuju kebijakan pemberantasan korupsi pemerintah belum efektif. Tidak ada kepemimpinan yang kuat untuk menjalankannya. Bahkan, kebijakan antikorupsi Presiden SBY disabotase oleh para petinggi partainya sendiri yang sekarang sedang diinvestigasi KPK. Tidak ada satu pemerintahan pun pascareformasi yang berani membersihkan kepolisian dan kejaksaan sehingga hal itu sampai sekarang menjadi faktor penghambat pemberantasan korupsi.
Kita masih beruntung memiliki KPK meskipun belum memuaskan karena sumber dayanya sedikit. Jadi, hanya sebagian kecil dari puluhan ribu kasus yang dilaporkan masyarakat sehingga ada kesan tebang pilih.
Dengan nilai tinggi yang hampir mendekati sempurna, Indonesia dinobatkan sebagai negara terkorup se-Asia. Bagaimana tanggapan Pak Teten? Bagaimana juga sebaiknya cara kami berpartisipasi memberantas korupsi dengan efektif....
(Ayu Sri Darmastuti, xxxx@gmail.com)
Perbaikan Indeks Persepsi Korupsi memang sangat lambat. Dalam 13 tahun skornya hanya naik satu point dari 2.00 (2000) dan saat ini 3.0. Kita masih jauh di bawah Malaysia (4.5), apalagi Singapura (9.8). Namun, waktu pencapaian itu hampir sama dengan yang dialami China dan Thailand.
Pemberantasan harus fokus pada babon korupsi, seperti sektor hukum, politik, dan bisnis, supaya efek. Saat ini, gerakan antikorupsi di masyarakat lebih banyak dalam bentuk watch dog, tapi belum menjadi gerakan semua orang di setiap sektor sehingga belum begitu berpengaruh.
Di Arab Saudi, orang yang korupsi dihukum potong tangan. Sementara di China, koruptor dihukum mati. Ironisnya di negeri kita, meski semua sepakat bahwa korupsi termasuk kejahatan luar biasa, hukumannya relatif ringan, mayoritas kurang dari 5 tahun penjara. Nah, dalam pandangan Anda, idealnya hukuman seperti apa yang bisa membuat para koruptor jera dan calon-calon koruptor mikir berkali-kali untuk melakukan korupsi?
(Vita Sophia Dini, Jakarta)
Di dunia, hukuman mati sudah banyak ditinggalkan sekarang ini. Di Indonesia sebenarnya memungkinkan diterapkan hukuman mati untuk kasus korupsi tertentu, tetapi sangat tidak masuk akal diterapkan di tengah aparat hukum yang bobrok.
Saya percaya penerapan undang-undang pencucian uang, asas pembuktian terbalik, dan pemiskinan terhadap koruptor bisa efektif untuk membuat efek jera. Korupsi itu kejahatan kalkulasi. Selama benefit-nya besar dan risikonya kecil, korupsi akan tumbuh subur.
Pak Teten Masduki, bagaimana menurut Bapak dengan mahasiswa yang gencar menuntut di hukum beratnya koruptor. Padahal, kalau nantinya mereka sudah menjadi elite politik juga akan melakukan hal yang sama? Bagaimana menyadarkan mahasiswa yang kadang suka bertindak anarkistis?
(Maidin Situmorang, SMA Bintang Laut Bagan Siapiapi, Riau)
Mahasiswa wajar kalau marah terhadap koruptor yang begitu leluasa di negeri ini walau saya tidak setuju kalau mereka bertindak anarkistis. Kita harus memahami bahwa sikap anarkistis mereka mungkin karena frustrasi dengan pemerintah yang tidak serius memberantas korupsi.
Apakah Bung Teten setuju diberlakukan saja hukuman mati kepada para pelaku koruptor biar ada efek jera dan kapok?
(Dudi Sugondo, Pabuaran, Tangerang Selatan)
Ada banyak cara untuk mengurangi korupsi selain hukuman mati. Mestinya kita belajar dari banyak negara yang bersih, seperti negara-negara Scandinavia. Semakin berkualitas demokrasi, semakin kecil peluang korupsi. Reformasi kebijakan ekonomi, rule of law, penyederhanaan birokrasi, media yang bebas, dan partisipasi masyarakat berdasarkan penelitian punya dampak besar terhadap menurunnya korupsi di negara yang keadaan governance-nya buruk seperti Indonesia
Kang Teten, saya kaget membaca berita soal Anda akan mencalonkan diri sebagai calon gubernur Jawa Barat. Apa pertimbangan Anda sehingga memutuskan mencalonkan diri dan apa yang Anda inginkan ketika sudah menjadi gubernur? Tergiur kekuasankah? Saya sih lebih suka Anda tetap berada di luar pemerintahan seperti sekarang agar tetap bisa mengingatkan perilaku aparat yang melenceng, terutama yang suka korupsi.
(Tari, Petukangan Selatan, Jakarta)
Ini masih dalam proses. Saya melihat ada peluang untuk melakukan perubahan dari daerah. Perubahan secara nasional sulit, tetapi kita bisa menciptakan pulau-pulau yang bebas korupsi. Kita perlu role model yang nyata supaya perubahan bukan sekadar wacana.
Selama ini saya selalu berada di luar pemerintahan, dan kalau ada peluang mengapa tidak mencoba perubahan dari atas. Ada banyak contoh perubahan yang cepat dilakukan apabila ada kepeloporan dari atas. Dalam hal ini saya merasa tidak sedang memburu jabatan.
Langkah konkret apa yang Anda lakukan dalam menerapkan prinsip antikorupsi di rumah tangga?
(Adian Saputra, xxxx@gmail.com)
Kami menerapkan kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak ada dorongan ekonomi untuk korupsi. Menanamkan budaya kerja keras, bersikap adil, dan empati terhadap sesama adalah fondasi penting untuk kita tidak mengambil hak orang lain. Kami juga mengambil nilai-nilai dari agama yang kami anut.
Pertanyaan saya gampil saja: Kalo Bung Teten menjadi presiden, apa yang pertama kali dilakukan untuk membumihanguskan korupsi di bumi Indonesia. Sebut sebuah tindakan yang cepat, tepat, dan akan membuat kapok para koruptor.
(Radi Tya, xxxx@gmail.com, Grogol Utara, Jakarta)
Barangkali jabatan presiden tidak bisa diinginkan. Namun, jika takdir saya nanti jadi presiden, Insya Allah rakyat bisa tidur pulas karena saya tidak akan mencuri uang rakyat.
Yang pertama dilakukan adalah mengangkat para menteri, jaksa agung, dan kepala Polri yang jujur. Begitu pula dengan mereka yang menduduki jabatan-jabatan strategis di dalam pemerintahan. Dengan begitu, saya punya tim kerja yang kuat untuk melakukan perubahan kebijakan, birokrasi, dan hukum yang rentan terhadap penyimpangan.
Pemerintahan yang modern adalah yang memprioritaskan anggarannya untuk memperbaiki akses terhadap pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan penguatan daya beli rakyat. Saat ini, pemerintahan kita masih tradisional, anggaran negara dan sumber daya ekonomi habis untuk biaya birokrasi dan politik, hanya dinikmati segelintir orang.
Berita terkait Pilkada Jawa Barat dapat diikuti dalam topik:
Jelang Pilgub Jabar
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.