Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mendidik Sadar Bencana Lewat Komik

Kompas.com - 21/11/2012, 11:35 WIB
Ahmad Arif

Penulis

KOMPAS.com - Pagi itu, 17 Januari 1995 pukul 05.46, Yuka Matsumoto (39) masih terlelap di pondokannya di Tokyo, saat dering telepon membangunkannya. Dari seberang, teman kuliahnya mengabarkan tentang gempa besar yang menghancurkan kota kelahirannya, Kobe.

Awalnya Yuka mengira telepon itu bagian dari adegan dalam mimpi. ”Kamu pasti mengira saya gila karena sesaat sebelum telepon berdering saya memang bermimpi tentang gempa,” kisah Yuka.

Seiring dengan kesadarannya yang bangkit, Yuka pun panik. Dia coba menghubungi keluarganya di Kobe, tetapi jaringan telepon ke kota itu terputus total. ”Hari itu saya tak bisa mengetahui kabar keluarga.”

Sehari kemudian dia mendapat kabar, semua anggota keluarganya selamat. Namun, rumahnya rusak. Ibunya segera ke Tokyo dan tinggal bersama Yuka hingga tiga bulan. Neneknya yang patah tulang belakang tinggal bersama bibinya, juga di Tokyo. ”Sangat sulit bagi mereka untuk tinggal di Kobe. Mereka trauma.”

Ayahnya bertahan di Kobe, coba menyelamatkan bisnis keluarga. Namun, lelaki yang menjadi tumpuan ekonomi keluarga itu tak sanggup bertahan. Bisnis keluarga Yuka bangkrut, ayahnya mengalami serangan jantung beberapa bulan kemudian.

”Itu saat tersulit dalam hidup. Saya belum selesai kuliah, tak bisa menolong ayah, teman-teman, dan kota kelahiran. Saya merasa tak berdaya,” katanya. ”Itulah mengapa saya selalu mengingat hari ketika gempa menghancurkan Kobe.”

Sejak gempa itu, Yuka harus kuliah sambil bekerja untuk menghidupi diri sendiri. Ia menulis dan menjadi reporter di beberapa televisi. ”Saya 100 persen mandiri secara finansial. Saya bekerja sangat keras,” katanya. Pada tahun itu pula ia menjadi Miss Japan for Miss Asia Pacific 1995.

Kesulitan ekonomi itu menempa mentalnya. Bencana itu membuatnya merasakan penderitaan dan kesulitan hidup. ”Jika tak mengalami sendiri, kita mungkin tak bisa memahami penderitaan orang lain,” katanya.

Mengubah hidup

Gempa Kobe juga memberinya pemahaman berharga. ”Bencana alam berupa gempa dan tsunami dapat mengubah jalan hidup ribuan orang secara total,” kata Yuka yang ditemui di Jakarta. ”Bahkan, dampaknya bisa ditanggung anak-anak dalam jangka panjang karena mereka kehilangan masa depan.”

Sore itu dia baru tiba dari Aceh. Sebagai wartawan NHK World, Yuka bertugas di dalam dan luar negeri, khususnya di daerah yang pernah dilanda bencana alam. Namun, kali ini dia ke Aceh atas biaya sendiri.

”Saya datang ke beberapa sekolah (di Aceh) untuk menyebarkan ini,” katanya sambil mengangsurkan beberapa lembar kertas berisi cerita bergambar.

Komik itu berisi pesan sederhana untuk menyelamatkan diri saat terjadi gempa dan tsunami. Gambar-gambarnya sederhana, berwarna hitam-putih. Sosok dalam gambar berciri khas manga, komik Jepang. Mata lebar, hidung mungil, mulut tipis, pipi bulat, dan tingkah laku ekspresif.

Sejak beberapa tahun terakhir, ia berkeliling ke daerah rawan bencana di dalam dan luar Jepang untuk mencari cara agar masyarakat, terutama anak-anak dan perempuan, lebih bersiaga menghadapi bencana. ”Saya tak ingin orang lain mengalami apa yang dialami keluarga saya.”

Jalan yang dia pilih adalah membuat manga dengan pesan pendidikan bencana. Yuka yang kuliah sastra Jepang dan jurnalistik ini menggandeng Nayu Hanii, komikus Jepang yang bekerja untuk majalah Sho-comi, grup perusahaan media Shogakukan.

Kenapa manga? ”Karena mudah dipahami, termasuk oleh anak-anak,” ucap Yuka yang bertugas menyiapkan narasi dan ide cerita. Nayu menuangkannya dalam gambar.

Manga begitu populer di Jepang. Beberapa majalah khusus manga beroplah lebih dari satu juta kopi per minggu. Bahkan, komik Doraemon mencapai 10 juta kopi per edisi. Tak hanya populer di Jepang, pencinta manga juga datang dari semua penjuru dunia, termasuk Indonesia. Biasanya manga berisi kisah kepahlawanan, persahabatan, atau dunia fantasi anak-anak. ”Saya ingin memanfaatkan popularitas manga untuk menyisipkan pendidikan tentang kebencanaan.”

Di sela-sela kesibukannya sebagai wartawan, Yuka menyusun ide cerita manga berisi pendidikan untuk bersiaga menghadapi bencana. Dia lalu membawanya ke sejumlah daerah rawan bencana, terutama sekolah-sekolah.

Di Aceh, Yuka tak hanya menempel poster manga berisi pendidikan bencana di sekolah. Ia juga berbicara dengan banyak orang tentang mitigasi bencana sembari mempromosikan pentingnya pendidikan kebencanaan untuk anak-anak.

”Tahun depan saya berencana ke Sri Lanka untuk hal yang sama seperti di Aceh. Cita-cita saya, manga ini bisa dibukukan,” katanya.

Pendidikan bencana

Setelah berkeliling ke banyak lokasi bencana, Yuka menyimpulkan bahwa pendidikan tentang mitigasi merupakan kunci dalam mengurangi jumlah korban. Gempa dan tsunami yang belum bisa diramalkan kapan terjadi membuat masyarakat kerap terlena dan tak mempersiapkan diri dengan baik.

”Gempa memang sering terjadi di Jepang, tetapi sebelum gempa 1995, orang Kobe sama sekali tak menduga gempa bisa mengancam mereka. Akibatnya, banyak orang tidak bersiaga,” katanya.

Padahal, gempa dan tsunami memiliki siklus. Dia akan kembali datang ke tempat yang sama secara periodik. Sebaliknya, upaya pengosongan area rentan gempa dan tsunami mustahil dilakukan.

Membentengi warga dengan tanggul atau teknologi modern juga tak pernah cukup. ”Pengalaman gempa Sendai tahun 2011 menunjukkan, infrastruktur fisik tak bisa sepenuhnya menyelamatkan orang,” katanya.

Lebih dari 10.000 orang tewas dalam gempa dan tsunami yang melanda Sendai, Maret 2011. ”Masyarakat, khususnya anak-anak, harus diberi pengetahuan memadai untuk menyelamatkan diri saat terjadi gempa dan tsunami.”

Ia menyadari, proyek manga-nya belum berarti banyak bagi dunia. ”Saya tak bisa diam saja. Saya ingin melakukan sesuatu untuk orang lain, sekecil apa pun, karena kita tak hidup hanya untuk diri sendiri.”

”Mimpi saya adalah membuat masyarakat di dunia menjadi lebih waspada terhadap bencana lewat manga,” ucap Yuka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com