Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mari Bercakap dengan Bahasa Indonesia, "Ciyus"?

Kompas.com - 23/11/2012, 02:51 WIB

Sudah pernah mencoba TOEFL atau Test of English as a Foreign Language? Ujian kompetensi berbahasa Inggris ini, antara lain, lazim dijalani sebagai persyaratan untuk mendaftar beasiswa ke luar negeri. Isinya terdiri dari berbagai bagian, yakni membaca, kosakata, hingga struktur kalimat.

Nah, MuDAers sudah pernah mencoba Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia atau UKBI? Seperti TOEFL, tes ini menguji kecakapan kita berbahasa Indonesia. Untuk saat ini ujian kemahiran hanya bisa dilaksanakan di balai bahasa di setiap provinsi.

Lahir di Indonesia pasti cakap berbahasa Indonesia. Anggapan ini melintas di benak kebanyakan orang. Toh, mustahil bagi orang yang lahir di Indonesia, lama tinggal di sana, lalu tidak mahir berbahasa Indonesia.

Namun, benarkah itu?

Hanya gelengan kepala yang diberikan Muhammad Abnamanu Andrian, siswa kelas XII dari SMA Negeri 1 Garut, yang ditemui seusai mengikuti UKBI di Balai Bahasa Jawa Barat, awal November lalu. Andrian bersama 170 siswa SMA dari sejumlah daerah di Jawa Barat mengikuti UKBI sebagai bagian dari seleksi duta bahasa pelajar.

Dia mengikuti UKBI selama lebih dari dua jam, mengerjakan soal di bagian mendengarkan, merespons kaidah, dan menulis. Hasilnya, anggapan bahwa bahasa Indonesia itu mudah, ternyata salah!

”Ternyata harus teliti, baik dengan ejaan maupun dengan kata yang hampir mirip. Semua terlihat seperti jawaban yang benar,” kata Andrian.

Dia mencontohkan, satu soal yang mengharuskan untuk memilih kata ganti ”jika” dalam sebuah kalimat. Pilihannya adalah ”bila” dan ”jikalau”, bila teledor bisa salah pilih.

Hal serupa diutarakan Putri Talitha yang juga siswi SMA Negeri 1 Garut. ”Ujian bahasa Indonesia pun bisa menyulitkan,” ujarnya.

UKBI adalah sistem pengujian bahasa Indonesia yang sudah dipatenkan dan saat ini menjadi satu-satunya alat untuk menguji kecakapan berbahasa. Kepala Balai Bahasa Jawa Barat Abdul Khak mengungkapkan, hasil dari UKBI tidak ditentukan oleh latar belakang pendidikan, misalnya dari fakultas atau jurusan sastra Indonesia. ”Kecakapan berbahasa tergantung pada logika dan kemampuan berpikir kita,” ujar Abdul.

Derajat kemahiran berbahasa Indonesia dalam UKBI ditentukan dalam tujuh tingkat, yakni terbatas, marjinal, semenjana, madya, unggul, sangat unggul, dan istimewa. Dalam tingkat terbatas, kemampuan berbahasa Indonesia hanya mampu digunakan untuk bertahan hidup.

”Saat ini UKBI belum diterapkan untuk seluruh pelajar sekolah, hanya kalangan yang bersedia mendaftar,” ujar Abdul.

Bahasa pemersatu

Kekhawatiran Abdul bahwa kualitas berbahasa Indonesia pelajar perlu diperiksa beralasan berdasarkan hasil pada ujian nasional SMA tahun 2012. Pelajaran Bahasa Indonesia justru menjadi salah satu biang kegagalan para peserta. Hal sebaliknya justru diperlihatkan oleh Bahasa Inggris yang nilainya bisa di atas rata-rata.

Hal ini sungguh miris jika dilihat sejarah bahasa Indonesia yang menjadi salah satu butir dari Kongres Pemuda II tahun 1928. Di sana, mereka menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Sebuah bahasa yang mempersatukan pemuda dari berbagai suku demi memperjuangkan kemerdekaan yang belum tiba.

Itulah yang mendorong kampanye berbahasa Indonesia menjadi salah satu kegiatan dalam peringatan 84 tahun Sumpah Pemuda. Di dalam acara hari bebas kendaraan di Jalan Ir H Djuanda, Kota Bandung, Komunitas Duta Bahasa membagikan selebaran ajakan berbahasa Indonesia dan glosarium berisi padan kata dari istilah internet bahasa asing menjadi Indonesia.

Wakil Ketua Komunitas Duta Bahasa Jabar Annatasya Maryana menuturkan, masyarakat tidak dididik untuk mencintai bahasanya. Mereka lebih bangga berbahasa asing. Dia pun mencontohkan, nama gerai-gerai pabrik (factory outlet) sepanjang Jalan Ir H Djuanda hampir semuanya memakai bahasa asing sehingga hilang ciri khas Indonesianya.

Menurut duta bahasa Jabar, Visarah Novicca Afridiani, bahasa Indonesia itu unik meski tidak berarti lebih rendah atau lebih tinggi daripada bahasa asing lainnya. Alumnus Sastra Perancis Universitas Padjadjaran ini mengaku menemukan keunikan bahasa Indonesia setelah belajar bahasa asing. ”Pola pikir yang menganggap bahasa asing lebih hebat daripada bahasa Indonesia harus dibuang jauh. Di sanalah tampak bagaimana kita menghargai kebudayaan sendiri,” ujar Visarah.

”Ciyus? Miapah?”

Salah satu kekhawatiran dalam bahasa Indonesia saat ini justru munculnya gaya berbahasa gaul, tetapi justru merusak makna kata. Tengok saja celetukan ciyus? miapah? yang berseliweran dari obrolan santai remaja. Kata ciyus berasal dari kata ”serius” yang pelafalannya dibuat seperti orang yang baru belajar berbicara.

Penggunaan media sosial yang masif di kalangan anak muda juga dikhawatirkan sebagai perusak kaidah berbahasa. Jejaring Twitter, misalnya, memaksa penggunanya untuk mengungkapkan pikirannya dalam 140 karakter sehingga banyak menyingkat dan akhirnya membuat kata-kata dalam bahasa Indonesia yang kadang hanya dimengerti sendiri.

Namun, fenomena itu tidak terlalu dirisaukan, setidaknya oleh Annatasya. Menurut dia, gaya bahasa informal itu muncul dalam interaksi yang lebih akrab atau intim. Berbahasa alay asalkan hanya untuk bersenang-senang tidak perlu dikhawatirkan karena gejala serupa juga terjadi pada setiap generasi muda.

”Yang penting, kita bisa memilah kapan harus berbicara alay dan kapan harus berbicara formal,” kata Annatasya.(Didit Putra Erlangga Rahardjo)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com