Ujian Nasional Seharusnya Hanya untuk Pemetaan

Kompas.com - 26/11/2012, 09:09 WIB
Luki Aulia

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Penempatan ujian nasional sebagai ujian kelulusan hanya akan menyempitkan kurikulum, melanggengkan pengajaran berbasis soal ujian, dan pembelajaran bersifat hafalan. Sudah saatnya mengembalikan fungsi UN sebagai uji diagnostik pemetaan kualitas layanan pendidikan.

Tuntutan para guru besar di perguruan tinggi dan pengamat pendidikan yang tergabung dalam Koalisi Damai Reformasi Pendidikan itu tertuang dalam Petisi Reformasi Pendidikan 2012, Minggu (25/11), di Jakarta.

Menurut pengamat pendidikan HAR Tilaar, ketika berfungsi sebagai pemetaan, pelaksanaannya tidak harus tiap tahun, tetapi secara periodik 3-5 tahun dengan pengambilan sampel. Jika menjadi ujian kelulusan, ujian nasional (UN) justru mematikan kreativitas siswa dan membuat siswa jenuh belajar.

”Untuk ujian kelulusan, lakukan saja ujian sekolah karena guru dan sekolah yang mengetahui secara persis kondisi siswa,” kata Tilaar.

Iwan Pranoto dari Institut Teknologi Bandung menyatakan, petisi ini tidak berarti desakan untuk menghapuskan UN, tetapi mereposisi fungsi UN sebagai pemetaan. Ia menilai, UN sebagai ujian kelulusan tidak logis mengingat kualitas pendidikan yang berbeda di tiap daerah.

Meskipun diprotes berbagai kalangan, pemerintah tetap melaksanakan UN. Bahkan, alokasi anggaran pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tiap tahun bertambah. Tahun 2013, rencana anggaran UN mencapai Rp 600 miliar. Menurut anggota Komisi X DPR, Rohmani, anggaran untuk UN masih dibahas. ”Saya pesimistis UN bisa dihapuskan karena semua kebijakan diambil berbasis kompromi. Bukan hasil riset,” ujarnya.

Petisi ini juga menyuarakan kekhawatiran bahwa fokus berlebihan pada UN sebagai ujian kelulusan berisiko menghilangkan keinginan belajar siswa. Menurut Mayling Oey-Gardiner dari Universitas Indonesia, mahasiswa sekarang makin sulit diajak berdialog karena tidak memahami persoalan. Ini berawal dari kebiasaan guru yang hanya mengajarkan materi atau soal-soal UN saja.

”Akibatnya, siswa hanya meng- hafalkan materi pelajaran tanpa memahami konsep,” kata dia.

Pengamat pendidikan Mudji Sutrisno menilai, UN menjadi tembok besar yang menghalangi anak untuk mampu berpikir logis, tidak hafalan, dan kritis bertanya. ”Dengan bentuk UN yang sekarang, hilang semua itu. Omong kosong dengan pendidikan karakter,” katanya. (LUK)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau