Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebelum Mati, Saya Ingin Lihat Indonesia...

Kompas.com - 28/11/2012, 09:47 WIB
Tri Harijono

Penulis

KOMPAS.com - Ardin Janes (16) asli Indonesia. Kedua orangtua dan kakek-neneknya Indonesia tulen. Ia pun berstatus warga negara Indonesia. Namun, Ardin tak bisa berbahasa Indonesia. Sehari-hari ia berbahasa Tagalog.

Bukan hanya Ardin yang demikian. Puluhan ribu warga Indonesia lainnya punya kondisi yang sama. Berstatus warga negara Indonesia, tetapi tidak bisa berbahasa Indonesia. Bukan cuma tak bisa berbahasa Indonesia, mereka pun tak tahu nama ibu kota negara Indonesia, apalagi nama presidennya. Meski demikian, sebagian ada yang tahu warna bendera Indonesia.

”Red-white,” kata Jerry Sukurama (27), WNI yang tinggal di Laensasi Gumasa Glan, Provinsi Sarangani, Pulau Mindanao, Filipina. Ia sedikit bisa berbahasa Indonesia, tetapi kebingungan ketika disebut bendera Indonesia berwarna merah putih. Ia lebih fasih berbahasa lokal Filipina, Bisaya dan Tagalog yang campuran Inggris.

WNI lainnya sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia. Kalaupun ada orang tua berumur 50-70 tahun yang sebelumnya pernah tinggal di Indonesia, mereka sudah lupa bahasa Indonesia karena tak pernah dipergunakan.

Turun-temurun

Warga Indonesia yang tinggal di Pulau Mindanao umumnya berasal dari pulau-pulau di sekitar Kepulauan Sangihe dan Talaud, Sulawesi Utara. Aktivitas nelayan yang berkembang sejak 1950-an menyebabkan mereka berinteraksi dengan warga Filipina, kemudian sebagian nelayan itu tinggal di Mindanao.

Warga berikutnya yang datang ke Mindanao tahun 1970-an umumnya menjadi buruh perkebunan nanas dan buruh pemetik kelapa. Aktivitas ini terus berjalan dan berkembang hingga sekarang.

”Kini warga Indonesia yang yang bermukim di Mindanao merupakan generasi ketiga atau keempat, bahkan ada yang merupakan generasi kelima dari leluhurnya,” kata Konsulat Jenderal RI di Davao, Eko Hartono.

Berdasarkan perkiraan Pemerintah Filipina, jumlah WNI di Pulau Mindanao sekitar 53.000 jiwa. Namun, Kementerian Luar Negeri RI memperkirakan jumlahnya 15.000 jiwa.

Sebagian dari WNI itu ada yang menikah dengan penduduk lokal. Permukiman mereka pun berkembang di sejumlah perkebunan kelapa atau nanas yang sangat jauh dari kota-kota besar seperti Davao City ataupun General Santos City di Pulau Mindanao, Filipina selatan.

Ciri khas yang melekat pada WNI pendatang itu adalah kemiskinan yang sangat parah. Sebagian besar buruh perkebunan nanas, pemetik kelapa, dan nelayan itu berpendapatan hanya 1.000-1.500 peso atau Rp 200.000-Rp 300.000 per bulan. Jumlah itu jauh dari upah minimum kabupaten di Indonesia yang umumnya sudah di atas Rp 1,5 juta per bulan.

Minimnya pendapatan mereka, padahal harus hidup dengan beberapa anak, menyebabkan mereka terlilit dalam kemiskinan yang sangat parah.

Hampir semua rumah WNI pendatang itu terbuat dari bambu, beratap daun kelapa, dan berlantai tanah. Makan pun seadanya, hanya nasi campur garam atau nasi dan buah pepaya muda yang dimasak seadanya menggunakan tungku kayu.

”Sudah bertahun-tahun kami hidup seperti ini,” kata John Jorr (22), buruh pemetik kelapa di Tupi, Provinsi South Cotabato, Pulau Mindanao.

Mereka tidak bisa ke Indonesia, bahkan ke pulau terdekat sekalipun, seperti Sangihe, karena biayanya mahal dan butuh waktu perjalanan laut sekitar seminggu. Padahal, untuk biaya hidup sehari-hari mereka sangat sulit.

Sebaliknya, meski tidak memiliki tanda pengenal, apalagi paspor, mereka tak mau melepaskan kewarganegaraan Indonesia. Di mata mereka, status WNI jauh lebih baik dibandingkan pindah kewarganegaraan.

Untungnya, Pemerintah Filipina bersikap sangat ramah terhadap pendatang Indonesia. Anak-anak Indonesia boleh bersekolah di sekolah Filipina. Ini berbeda dengan Malaysia yang melarang anak-anak TKI bersekolah di sekolah Malaysia.

Terobosan pendidikan

Untuk mengatasi kemiskinan WNI ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Kementerian Luar Negeri RI membangun beberapa pusat pembelajaran (learning center) di beberapa kawasan permukiman WNI, seperti di Tupi, Laensasi, Isulan, Magdub, Kuilantang, dan Balunto, Pulau Mindanao. Umumnya permukiman itu terpencil di tengah perkebunan kelapa atau nanas yang sangat luas. Usia peserta didik tidak dibatasi, siapa pun bisa ikut sekolah ini.

Selain diberikan materi pelajaran Bahasa Indonesia agar mereka bisa berbahasa Indonesia, pengetahuan dasar tentang keindonesiaan juga diberikan kepada mereka.

”Bagaimanapun, mereka warga negara Indonesia. Kita ingin menyentuh mereka yang selama ini tidak tersentuh. Menyapa mereka yang selama ini tidak disapa,” kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh ketika meresmikan pusat pembelajaran di Tupi.

Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Luar Negeri RI Paristiyanti Nurwardani mengatakan, selain diberikan pelajaran kebangsaan, mereka juga diberikan pelajaran formal lainnya dan akan mendapat ijazah. Dengan demikian, setelah lulus, mereka bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, peserta didik juga diberikan keterampilan yang bisa memperbaiki perekonomian mereka, seperti membuat nata de coco dari air buah kelapa, membuat kecap ikan, dan bakso ikan bagi anak-anak nelayan.

Mendapat pendidikan gratis seperti ini, tentu saja peserta didik senang bukan kepalang. Seperti dikatakan Bon Oliver B Domis (10), Quennly Love Agamu (8), Aiza S Lengkongdorong (12), dan peserta didik lainnya, mereka selama ini hanya mengenal Indonesia dari pembicaraan lisan.

”Katanya, Indonesia itu negeri yang sangat indah. Mudah-mudahan suatu saat, sebelum tua dan meninggal, saya bisa melihat tanah leluhur saya, Indonesia,” kata Samsudin Makasaehe (15), penuh harap....

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com