Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Antara Mendieta dan Gurnam Singh

Kompas.com - 06/12/2012, 13:45 WIB

JAKARTA, Kompas.com — Kisah kematian pemain asal Paraguay, Diego Mendieta, membuktikan berita tragis atlet atau mantan atlet selalu menarik diulas, tetapi tak pernah menghasilkan solusi.

Baru pekan lalu, Harian Kompas edisi Jumat (30/11/2012) memuat (lagi) tentang kisah sedih nasib mantan atlet  nasional Indonesia. Kali ini kisah Leni Haini, mantan atlet perahu naga asal Jambi yang pernah mempersembahkan 2 medali emas dan 2 perak di ajang SEA Games 1997, serta 1 emas dan 3 perak SEA Games 1999.

Faktanya, Leni kini hidup serba kekurangan secara ekonomi. Bukan itu saja, ia juga terkena cobaan hidup karena putrinya, Habibatul Fasihah (2 tahun 8 bulan), terkena penyakit kulit yang membutuhkan biaya pengobatan yang  besar.

Leni  hanya tamatan SD dengan penghasilan sebagai buruh cuci, sementara suaminya, M Ikhsan, hanya petugas kebersihan di kompleks DPRD Jambi dengan gaji Rp 1 juta per bulan.

Kompas menulis, "Kemiskinan yang menimpa atlet nasional seperti Leni adalah realitas dalam dunia olahraga Indonesia. Masa muda atlet dihabiskan dengan latihan dan latihan. Pendidikan kognitif terabaikan. Tanpa pendidikan, atlet terjun tanpa keterampilan dan wawasan menghadapi realitas hidup setelah ”pensiun”.

Ketika diunggah ke Kompas.com, tulisan ini diunduh oleh lebih dari 20 ribu users.  Suatu pencapaian yang lumayan untuk berita olahraga.

Komentar yang muncul dari para users rata-rata menyayangkan nasib yang menimpa mantan atlet tersebut. Mereka juga menyalahkan pemerintah, baik pemerintah daerah  maupun pusat yang dianggap tidak memperhatikan nasib mantan atlet tersebut.

Cerita sedih mantan atlet memang selalu menarik perhatian pembaca. Para pembaca yang entah mengenal atau tidak nama atlet tersebut cederung  menunjukkan simpati mereka dan  kemudian menunjuk ada sistem yang salah dalam pembinaan olahraga negeri ini.

Pemberitaan olahraga dengan pendekatan tragis ini dalam dunia jurnalisme Indonesia dikenal dengan istilah "Gurnam Singh Style". Bukan istilah baku memang, tetapi istilah ini dikenal bayak kalangan media.

Gurnam Singh adalah  seorang mantan atlet maraton yang terkenal pada zamannya. Ia meninggal dunia pada 7 Desember 2006  dalam usia 75 tahun di Jakarta. Enam tahun yang lalu.

Gurnam cukup tenar pada tahun 1960-an. Pria keturunan Sikh yang besar di Medan, Sumatera Utara, ini adalah pelari peraih medali perak di Asian Games IV di Jakarta  tahun 1962.

Raihan medali ini menjadi sangat berarti karena merupakan medali pertama buat kontingen Indonesia di ajang Asian Games IV tersebut. Karena prestasinya tersebut, Gurnam kemudian dihujani hadiah baik dari Pemda Sumatera Utara maupun pusat, dari uang hingga rumah.

Namun, persoalan hidup seperti keluarga setelah Gurnam tak lagi aktif sebagai atlet membuat semua kejayaan itu seperti tak lagi berbekas. Ia kehilangan semuanya, dari harta benda hingga keluarga.

Bagi media massa, sejak awal 1970-an, nama Gurnam Singh identik dengan kisah hidup tragis seorang manusia. Ia kehilangan  rumah karena digusur, hingga naik kapal laut dari Medan ke Jakarta pada tahun 2005 untuk meminta perhatian pemerintah pusat.

Di Jakarta, Gurnam hidup menggelandang, seperti juga banyak pendatang dari daerah. Ia hidup di komunitas Sikh sebelum akhirnya meninggal dunia d RS Sumber Waras, Grogol,  pada 7 Desember 2006.

Kisah hidup Gurnam Singh atau Leni Haini, ataupun banyak mantan atlet yang di hari tua menjadi penarik becak atau pemulung, adalah potret biasa dari kegagalan manusia mengatasi masalah kehidupan usai masa jayanya. Seperti direktur perusahaan yang jatuh miskin seusai pensiun atau juga kepala bagian yang terlibat utang seusai pada akhir masa dinasnya.

Namun, buat media di sini berlaku "bad news is a good news". Ditumbuhkan kesadaran bahwa menjadi atlet adalah masa "perjuangan dan berkorban tanpa pamrih" bagi orang banyak tanpa pernah memperhatikan kepentingan dan masa depan sendiri.

Banyak atlet sadar atau tidak sadar tidak pernah menganggap pendidikan sebagai kunci utama memahami masa depan. Bonus yang melimpah saat meraih prestasi kadangkala menguap tanpa bekas atau menjadi "bancakan" keluarga besar atlet yang bersangkutan.

Pada dekade  1990-an, di kantor PSSI Senayan, para pemain era 1960-1980-an kerap berkumpul. Bukan kerap, bahkan mungkin setiap hari.  Bukan untuk reuni atau bernostalgia seperti pada era "facebook" seperti sekarang, tetapi karena hanya itulah dunia yang mereka kenal.

"Dulu itu, kami pemain bola—bahkan pemain nasional—menganggap dunia ini tidak akan berubah. Hampir setiap malam, sebagian besar dari kami menghabiskan uang yang kami punya di tempat hiburan malam. Makanya banyak yang kemudian takut menikah dan hidup membujang hingga akhir hayatnya," kata almarhum  Kam Tek Fong alias Muljadi.

Sampai akhir hayatnya, Muljadi memang tidak menikah dan hidup di lingkungan lapangan Petak Sinkian milik klub Union Makes Strength (UMS).

Kisah hidup mantan atlet yang sengsara bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi yang membedakan adalah sudut pandang masyarakat yang tecermin melalui media massa.

Kisah hidup bintang sepak bola Inggris, Paul "Gazza" Gascoigne, cukup tragis. Dipandang sebagai pemain paling berbakat pada dekade 1990-an, Gascoigne membawa Inggris lolos ke semifinal Piala Dunia Italia 1990. Ia juga diminati banyak klub Liga Inggris ataupun Eropa lainnya.

Namun, kisah hidup Gascoigne kemudian lebih banyak dihiasi kisah buruk tentang ketergantungannya pada alkohol serta kisah kekerasan yang menyertai kehidupan rumah tangganya.

Meski begitu, masayarakat sepak bola Inggris atau Eropa lebih cenderung menempatkan kesalahan itu pada figur Gazza. Dia adalah seorang yang telah mendapatkan kesempatan yang sangat besar, dengan talenta luar biasa dan sistem sepak bola profesional yang mapan, tetapi menyia-nyiakannya.

Gazza atau Gascoigne pun menyadari semua kesalahan itu ada pada dirinya. Ia tidak bisa melemparkannya pada orang lain atau sistem yang tidak adil. Dengan kondisi seperti ini, media massa pun menempatkannya sebagai orang yang gagal dan belum menemukan cara untuk rebound, bangkit dari kegagalan.

Kisah hidupnya sedikit berbeda dengan mega bintang Jerman (Barat) pada 1960-1970-an, Gerd Mueller. Setelah kariernya surut, Mueller juga sempat terperangkap dalam cengkeraman alkohol. Namun, media massa kemudian mengangkat kisah bagaimana Mueller bangkit dari  keterpurukannya tersebut dengan bantuan rekan-rekannya dari timnas Jerman Barat yang pernah menjadi juara dunia tahun 1974.

Atlet dan media massa adalah ujung tombak untuk memperlihatkan bahwa olahraga adalah  satu bidang yang tepat untuk menjadi pilihan hidup. Atlet  menempa diri dengan disiplin ketat, memiliki tujuan hidup yang jelas yang mungkin jauh lebih tinggi daripada mereka yang memilih profesi lain. Sementara itu media massa  membangun kesadaran publik bahwa atlet yang baik dan bermasa depan adalah cerminan dari masyarakat yang sehat dan berpengharapan.

Semoga kasus Gurnam Singh, Leni Haini, dan Diego Mendieta membuka kesadaran bagi para atlet-atlet muda ataupun orangtua mereka bahwa  selama sistem olahraga Indonesia masih amburadul adalah lebih baik bersiap diri menghadapi masa depan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com