Hari Rabu (5/12) pagi, pelajar di kelas I, misalnya, mempelajari pengurangan dengan terlebih dahulu menghitung bulatan di lembar soal. Belajar perkalian juga dengan proses, bukan hafalan. Yang ditekankan adalah prosesnya, bukan cuma hasil.
”Kami memang menjalankan sistem active learning,” ujar Wakil Kepala Sekolah Kembang Lestia Primayanti.
Dia tidak sedang berbasa-basi. Kegiatan belajar-mengajar di kelas menunjukkan proses itu. Sejumlah mahasiswa tamu juga tampak sedang mengobservasi.
Alhasil, pelajar kelas VI, Zahra Aninda Pradiva, misalnya, mampu menjelaskan Iran dengan pengembangan nuklirnya. Bukannya diharuskan menghafal nama ibu kota, Zahra dan teman-temannya diminta mempelajari sebuah negara dan mempresentasikan kelebihan dari negara tersebut.
”Nuklir bisa untuk mengatasi kekurangan listrik. Indonesia harusnya punya, tetapi harus berhati-hati supaya tidak bocor seperti di Jepang,” ujar Zahra dengan percaya diri.
Meski baru duduk di sekolah dasar, Zahra pernah mendapat tugas mewawancarai sebuah grup musik yang pentas di Sekolah Al-Azhar Bintaro. ”Saya menanyakan kapan berdirinya dan genre musik mereka,” ujarnya.
Menurut Lestia, Sekolah Kembang memakai kurikulum nasional, tetapi sedikit nyeleneh. Ambil contoh, sekolah itu tidak mengharuskan siswanya berseragam selain mengganti pelajaran agama dengan religion knowledge yang memperkenalkan semua agama.
Walau demikian, para guru mengabdi penuh pada pendidikan. Mereka mengajar dengan sabar, lemah lembut, dan selalu membimbing siswa di kelas. Jumlah jam mengajar guru memang relatif sedikit—14 jam per pekan—yang memungkinkan guru mempersiapkan bahan ajar dengan matang.
Ketika menghadapi ujian nasional, menariknya, pelajar Sekolah Kembang tidak tergagap- gagap. Nilai rata-rata UN 2011/2012, misalnya, untuk
”UN tak masalah,” kata Lestia.