Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tematik Integratif Tak Sekadar Menggabungkan

Kompas.com - 08/12/2012, 10:36 WIB
Luki Aulia

Penulis

KOMPAS.com - Sejak 2010 pemerintah mulai menggodok kurikulum pendidikan nasional baru sebagai pengganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006. Alasannya, kurikulum lama sudah ”ketinggalan zaman” dan tidak dapat menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi berpikir analitis dan kreatif.

Berdasarkan laporan McKinsey Global Institute ”Indonesia Today”, yang selalu menjadi acuan pemerintah, kompetensi dan kreativitas pelajar Indonesia berada di bawah Jepang, Thailand, Singapura, dan Malaysia, terutama di bidang matematika dan sains. Padahal, kedua bidang itu merupakan dasar dari kemampuan berpikir rasional.

Harapan pemerintah, kurikulum yang baru itu juga akan mampu menjawab konvergensi peradaban. Ada keinginan, Indonesia tidak sekadar membangun ilmu pengetahuan, tetapi juga membangun peradaban dunia. Untuk mencapai itu, kompetensi siswa dan guru mau tidak mau harus diubah karena tuntutan zaman pun berubah.

Hanya saja, bagi sebagian kalangan, rumusan kurikulum sementara yang muncul justru bertolak belakang dengan semua harapan. Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) ”hilang” dari kurikulum. Hal itu segera menuai kritik dan protes, terutama di kalangan ilmuwan.

Di dalam lingkaran tim penyusun kurikulum yang baru itu pun masih terjadi silang pendapat. Sebagian menilai dua mata pelajaran itu lebih baik menjadi obyek pembelajaran saja dan tidak perlu muncul sebagai mata pelajaran tersendiri. Namun, sebagian lagi menilai dua bidang itu lebih baik dimunculkan sebagai mata pelajaran tersendiri di kelas IV, V, dan VI sekolah dasar (SD).

Belum ada keputusan final karena naskah kurikulum saat ini masih berada di tahap uji publik yang akan berakhir dua pekan mendatang.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh dalam berbagai kesempatan selalu menjelaskan, kedua mata pelajaran itu tidak dihilangkan, tetapi menjadi obyek pembelajaran dalam tematik integratif. Artinya, kedua bidang itu tidak menjadi mata pelajaran tersendiri, tetapi bergabung ke dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.

”Misalnya, ketika membahas sungai di Bahasa Indonesia, dari sisi IPA masuk materi soal curah hujan, lingkungan, dan sebagainya. Materi IPS-nya masuk dalam bentuk manfaat sungai bagi masyarakat, perlunya menjaga lingkungan, dan sebagainya,” ujarnya.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kemdikbud Suyanto menjelaskan, materi IPA atau IPS itu akan lebur ke dalam tema-tema yang telah ditentukan. Semua fenomena alam sejatinya bisa dimasukkan ke dalam pelajaran membaca di Bahasa Indonesia.

Penggabungan itu dilakukan karena jumlah mata pelajaran kini dipadatkan. Seperti di SD, mata pelajaran dipadatkan dari 10 mata pelajaran menjadi enam mata pelajaran, yakni Agama, PPKn, Bahasa Indonesia, dan Matematika, sebagai mata pelajaran pokok. Mata pelajaran lain adalah Olahraga dan Kesehatan Jasmani serta Seni Budaya dan Prakarya. Meski jumlah mata pelajaran dipadatkan, lama belajar di sekolah ditambah dari 26 jam menjadi 30 jam per minggu.

Bingung

Penggabungan IPA dan IPS ke balam Bahasa Indonesia disesalkan banyak kalangan karena dikhawatirkan justru akan memperburuk kemampuan nalar dan logika siswa. Guru Besar Institut Teknologi Bandung Iwan Pranoto menjelaskan, selama ini siswa ditunjukkan arah belajar kecakapan yang salah dan dibuat fokus mengejar kecakapan kedaluwarsa, seperti kognitif rutin. Anak-anak jarang diberi kesempatan mengembangkan kecakapan abad ke-21 yang bernalar tingkat tinggi. ”Rangkaian kebijakan pendidikan nasional justru kerap bertolak belakang seperti kurikulum baru ini,” ujarnya.

Bagi banyak pihak, langkah penggabungan ini justru membingungkan. Mengapa bukan sebaliknya, materi Bahasa Indonesia masuk ke mata pelajaran IPA dan IPS atau semua mata pelajaran. Bahasa Indonesia justru akan lebih fleksibel untuk diintegrasikan ke dalam tema apa pun.

Guru SMA Negeri 13 Jakarta, Retno Listyarti, menilai lebih baik Bahasa Indonesia digabung ke mata pelajaran lain daripada mata pelajaran IPA dan IPS dihilangkan. Lebih baik Bahasa Indonesia saja yang masuk ke mana-mana. Namun, ia juga menyadari bahwa jika Bahasa Indonesia dihilangkan, bisa jadi akan ada penilaian tidak nasionalis.

”Padahal, substansinya bukan soal nasionalis atau tidak. Saya, kalau disuruh mengajar atau menulis buku tentang Bahasa Indonesia, juga pasti akan bingung,” kata Retno.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com