KOMPAS.com - Jangankan sinyal telepon seluler, listrik pun tak ada. Jangankan kendaraan, jalan raya pun entah di mana. Begitulah situasi yang dirasakan para guru program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) di Aceh Timur.
Bukan hanya itu. Keganasan alam daerah pinggiran itu pun mengintip nyawa. Dalam segala keterbatasan itulah mereka mengabdi, membangun anak bangsa.
Raut wajah tegang terpancar dari wajah Samiaji (24), guru muda yang mengikuti program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal di Aceh Timur, saat menunggui upaya pencarian jenazah rekannya, Geugeut Zaludio Sanua Anafi (23), di Dermaga Sungai Simpang Jernih, Kuala Simpang, Jumat (30/11). Hari itu pencarian Geugeut telah memasuki hari kelima.
Sehari sebelumnya, tim Search and Rescue (SAR) Gabungan di Aceh Tamiang telah menemukan jenazah Winda Yulia (22), guru SM-3T yang bertugas di Melidi. Winda dan Geugeut ialah dua dari empat korban yang tewas terseret arus Sungai Simpang Jernih, Senin (26/11). Musibah itu terjadi saat keduanya bersama guru lainnya, yaitu Irma dan Hanafi (korban selamat), hendak kembali ke Melidi melalui sungai setelah mengikuti rapat di Kota Langsa.
”Medan yang harus mereka lalui memang sulit, tetapi saya sungguh tak menyangka jika itu semua akan menjadi akhir yang tragis bagi Winda dan Geugeut. Keduanya lulusan terbaik kami,” tutur Samiaji. Samiaji, Winda, dan Geugeut adalah guru SM- 3T lulusan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Sebagai guru yang pernah bertugas di Desa Melidi, Samiaji tahu persis sulitnya jalur transportasi di medan tempat tugas Geugeut dan Winda. Desa ini terletak di ujung barat daya Kabupaten Aceh Timur. Tak ada jalan raya, listrik, dan sinyal telepon di desa yang dihuni sekitar 250 keluarga itu. Satu-satunya akses menuju sekolah ialah melalui Sungai Simpang Jernih yang berarus deras.
Sungai ini berhulu di wilayah Gayo Lues, barat daya Aceh Timur, dan bermuara di pesisir Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Meskipun Melidi termasuk wilayah Aceh Timur, warga desa itu harus ke Aceh Tamiang dulu untuk keluar dengan menempuh jalur sungai selama 6 jam.
Terkadang hingga seminggu lebih warga Melidi terisolasi karena Sungai Simpang Jernih banjir. ”Jika seperti itu, kami tak bisa ke mana-mana. Kalau memaksakan diri akan sangat berbahaya,” kata Samiaji.
Hal yang sama diungkapkan Syahnan (34), warga Kuala Simpang, yang bekerja sebagai pengangkut kayu dari Melidi. ”Arus Sungai Simpang Jernih deras sekali. Saya beberapa kali memilih meninggalkan kayu dan perahu di sungai karena banjir daripada celaka,” ujarnya.
Pengabdian
Selama di Melidi, Samiaji tinggal di rumah seorang warga. Di SMP Negeri 2 Simpang Jernih, hanya dua guru aktif mengajar, termasuk dirinya. Kepala sekolah datang seminggu sekali dan lebih banyak berada di Kota Langsa. ”Bahkan saya sering mengajar 3 kelas sendirian dalam sehari,” katanya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.