Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berburu Lumba-lumba di Teluk Kiluan

Kompas.com - 12/12/2012, 09:11 WIB
Ni Luh Made Pertiwi F

Penulis

KOMPAS.com – Gelap mengelayut Dusun Bandung Jaya, Desa Kiluan Negeri, Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Pekat malam, tanpa penerangan apapun. Berbekal senter, perjalanan dengan berjalan kaki pun dilanjutkan.

Senter kecil hanya menerangi jalan di depan saya. Tak terlihat apa pun lainnya di sisi kanan dan kiri. Setelah lima menit melangkah, deburan air mulai terdengar. Tepat di sisi kanan jalan setapak yang hanya cukup untuk satu orang itu adalah laut.

Desa itu tak berlistrik. Sebuah ironi saat pemerintah setempat menggaungkan Teluk Kiluan sebagai obyek wisata andalan Provinsi Lampung.

Semakin ironis, jika mengingat perjalanan yang harus ditempuh dari Kota Bandar Lampung menuju Teluk Kiluan. Secara jarak, hanya sekitar 90 kilometer. Namun, lama tempuh memakan waktu tiga jam.

Tak perlu heran, akses menuju Teluk Kiluan sangat susah. Jalanan rusak tak beraspal, bolong di sana-sini. Kalau hujan, maka jalanan pun jadi becek. Hanya orang-orang yang memang gemar petualangan yang pada akhirnya mau mampir ke Teluk Kiluan.

Beratapkan Bintang

Setelah berjalan kurang lebih sepuluh menit, sampailah di sebuah rumah kayu sederhana milik bapak tua bernama Solihin. Langit masih gelap saat saya membangunkan Solihin dari tidurnya. Jam menunjukkan pukul tiga pagi. Rencana perjalanan mengarungi Teluk Kiluan tepat di pukul enam pagi.

Masih ada sisa tiga jam, sebelum menaiki perahu nelayan untuk “menyapa” lumba-lumba Teluk Kiluan yang tenar itu. Solihin, seorang nelayan asal Teluk Kiluan sudah sejak lama biasa membawa turis yang penasaran dengan lumba-lumba ini.

Konon, dari berbagai cerita wisatawan yang pernah berjumpa dengan lumba-lumba, bahkan dari penuturan Solihin, lumba-lumba ini begitu ramah dan terbiasa dengan kehadiran manusia. Mereka tak segan-segan menghampiri badan jukung, perahu kecil nelayan yang ramping dan hanya memuat empat orang.

Rumah Solihin tepat di tepian Teluk Kiluan. Di belakang rumah terdapat pohon besar dengan kursi-kursi kayu ukuran besar. Tepat di depan pohon adalah dermaga kayu kecil yang menghadap ke perairan Kiluan.

Beratapkan bintang, buaian angin laut, dan desiran ombak yang tenang, saya pun terlelap beralaskan kayu dermaga. Solihin terpaksa terbangun di pagi buta itu dan menyuguhkan kopi hangat. Tapi saya memilih tidur dan menyimpan energi untuk perjalanan berikutnya.

Berburu Lumba-lumba

Pagi hari, Solihin pun bersiap-siap dengan jukung miliknya. Langit kelabu pertanda cuaca tak baik. Rinai hujan memang belum datang, namun ombak tampak tak tenang. Hanya saja, niat sudah bulat untuk bertemu lumba-lumba.

Lumba-lumba memang biasanya tak begitu muncul saat cuaca tak baik. Saat jukung mulai melayari teluk, mulai tampak lumba-lumba. Tak begitu terlihat, hanya siripnya saja yang muncul. Lumba-lumba seakan sembunyi di balik ombak yang tak tenang.

Solihin pun melajukan jukung melewati teluk, ke lautan bebas. Beberapa kali jukung berpapasan dengan nelayan-nelayan yang pulang melaut. Beberapa mengatakan mereka sempat bertemu lumba-lumba di salah satu titik.

Ombak semakin kencang, jukung berayun ke kanan dan kiri. Namun, semakin ke tengah, semburat matahari semakin terlihat. Setelah dua jam terombang-ambing di lautan, Solihin masih tampak semangat “memburu” lumba-lumba dengan maksud tak mau mengecewakan tamunya.

Tetapi apa daya, alam tak bisa ditantang. Lumba-lumba pagi itu enggan menyapa. Ia muncul malu-malu sesaat. Setelah hampir tiga jam kemudian, Solihin pun akhirnya mau mengarahkan jukung ke sebuah pulau cantik di tengah Teluk Kiluan.

Pulau Kiluan sangat kecil dan hanya dihuni oleh sepasang suami istri. Mereka mengelola sebuah penginapan sederhana dan warung sederhana. Wisatawan yang mampir ke pulau ini dipungut bayaran sebesar Rp 5.000.

Pasir putih yang lembut dan gradasi warna laut dari biru muda sampai biru tua, memperlihatkan perairan yang dangkal di tepian pantai. Di beberapa sisi, titik-titik hijau menyiratkan terumbu karang yang menggoda untuk diamati.

Coba berjalan mengelilingi pulau ini. Uniknya, setiap sisi menampilkan hal yang berbeda. Tepat di tempat berlabuh jukung adalah sisi pantai pasir yang halus. Sementara di sisi lainnya, batu-batu karang besar memenuhi tepian pantai.

Lalu di sisi berlawanan adalah pantai penuh pecahan karang dan kerang. Setiap sisi pantai seakan berasal dari tempat-tempat yang berbeda, padahal berada dalam satu pulau. Berenang atau snorkeling agak jauh dari pulau, menjadi alternatif wisata di pulau ini.

Atau, sekadar duduk-duduk di tepian pantai pun surga tersendiri. Tak cukup hanya sejam atau dua jam. Bila haus atau ingin segelas kopi panas, pesan saja ke Ibu Yamin. Ibu Yamin mengaku ia biasa menerima tamu-tamu asing menginap di pulau tersebut.

“Pernah ada yang menginap sampai sebulan, sendirian saja,” katanya.

Ya, berada di tengah pulau, sendiri hanya bersama Bapak dan Ibu Yamin, tanpa listrik, tanpa bising suara kendaraan. Beratapkan bintang yang tampak jelas karena langit tak berpolusi. Aroma laut yang menyegarkan tanpa bau knalpot. Birunya laut tak tercemar. Pasir putih tanpa sampah. Siapa pun betah berlama-lama di pulau ini. (bersambung)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com