Guru Bahasa Jawa SMP Negeri 19 Tegal, Jawa Tengah, Panggih Hariyadi, Rabu (2/1), mengatakan, pelajaran Bahasa Jawa kurang pas apabila dijadikan satu dengan pelajaran seni budaya seperti dalam Kurikulum 2013. Hal itu karena dalam Bahasa Jawa tidak hanya diajarkan cara berbahasa, tetapi juga membaca, menulis sastra, serta mendengarkan, seperti mendengarkan wayang. Siswa juga diajari tradisi dan adat istiadat seperti pakaian tradisional Jawa.
”Materi-materi tersebut tidak bisa disatukan dengan seni budaya. Idealnya pelajaran Bahasa Jawa tetap ada,” kata Hariyadi.
Selain itu, dengan ditiadakannya pelajaran Bahasa Jawa, guru-guru Bahasa Jawa akan kehilangan jam pelajaran. Padahal, sejak diberlakukannya keputusan tiga gubernur (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta) pada 2006 untuk menjadikan Bahasa Jawa sebagai muatan lokal pada jenjang SD hingga SMA, mata kuliah bahasa Jawa banyak diserbu mahasiswa.
Tatang Priyanggono, Kepala Bidang SMP, SMA, dan SMK Dinas Pendidikan Kabupaten Jember, Jawa Timur, mengatakan, pihaknya belum tahu masa depan pelajaran bahasa daerah setelah Kurikulum 2013 diberlakukan.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Retno Listyarti menegaskan, penghapusan bahasa daerah yang ada di dalam muatan lokal di jenjang SD dan SMP melanggar Undang-
Evi Trijayanti, mahasiswa semester V Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya, mengatakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu menegaskan sikap soal pendidikan bahasa daerah.
Dwi Catur Nugroho, mahasiswa semester V Jurusan Sastra Daerah, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, mengatakan, dirinya memilih jurusan itu karena ingin menjadi guru bahasa daerah. ”Sekarang saya tidak tahu bagaimana kelanjutan pelajaran bahasa daerah,” kata Catur.