Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Atur Kandungan Gula Produk Olahan

Kompas.com - 03/01/2013, 03:20 WIB

Jakarta, Kompas - Jumlah penderita obesitas kian meningkat, tak membedakan kaya atau miskin. Dampaknya, penderita berbagai penyakit degeneratif kian banyak dan muda dari berbagai kelas ekonomi.

Salah satu pemicu obesitas adalah konsumsi gula berlebih. Namun, hingga kini belum ada aturan pembatasan kandungan gula pada makanan dan minuman olahan di pasaran.

”Pemerintah perlu memberi perhatian pada konsumsi gula masyarakat,” kata Mahesa Paranadipa dari Dewan Pengawas Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi (GMSG) yang juga dosen Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Rabu (2/1).

Riset Kesehatan Dasar 2010 menyebut, prevalensi kegemukan pada anak usia kurang lima tahun 14 persen. Prevalensi pada penduduk umur lebih 18 tahun dengan kelebihan berat badan dan obesitas 21,7 persen. Prevalensi antara kelompok kaya dan miskin tak berbeda jauh.

Ketua Yayasan GMSG yang juga dokter spesialis gizi klinik, Tirta Prawita Sari, menyatakan, kesalahpahaman bahwa pemicu kegemukan merupakan akibat konsumsi lemak berlebih masih kuat. Padahal, penyebab utamanya adalah karbohidrat berlebih.

Gula adalah salah satu jenis karbohidrat sederhana yang mudah diserap tubuh. Kelebihan gula akan disimpan tubuh jadi lemak. Lemak berlebih akan menurunkan sensitivitas terhadap insulin hingga mendorong tubuh mengeluarkan insulin lebih banyak.

”Tingginya insulin akibat resistensi insulin jadi penyebab sejumlah penyakit degeneratif seperti diabetes melitus dan jantung koroner,” kata Tirta yang juga dosen PSPD Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Menurut Mahesa, pola konsumsi masyarakat menunjukkan tingginya konsumsi gula. Selain terbiasa minum minuman manis di rumah, masyarakat perkotaan punya gaya hidup baru minum minuman manis di kafe. Belum lagi minuman kemasan dan aneka makanan manis yang bisa dikonsumsi kapan saja. Kondisi itu terjadi saat aktivitas fisik warga makin berkurang.

Di sisi lain, upaya mengganti gula dengan pemanis buatan rendah kalori belum maksimal. Harga pemanis rendah kalori yang aman masih mahal. ”Edukasi (tentang bahaya gula berlebih) tidak akan optimal selama lingkungan dan regulasi tak mendukung,” ujarnya.

Tirta mengingatkan, obesitas tidak mengenal status ekonomi sosial. Ini berarti pemenuhan karbohidrat bukan hal sulit bagi masyarakat miskin. Obesitas di kelompok ekonomi bawah dipicu kebiasaan konsumsi karbohidrat tinggi, seperti makan nasi berlauk mi. ”Pemuasan atas rasa lapar masih dipenuhi dengan peningkatan konsumsi karbohidrat, bukan dengan lemak atau protein berkualitas,” katanya.

Karena itu, konsumsi gula harus dikurangi. Pencegahan obesitas dengan mengurangi konsumsi lemak tak akan maksimal menurunkan prevalensi penyakit degeneratif. (MZW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com