Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Label RSBI Pun Langsung Dihapus

Kompas.com - 10/01/2013, 02:42 WIB

Tak ada perubahan luar biasa di kalangan siswa SMP Negeri 1 Kota Cirebon. Anak-anak bermain dan bercengkerama seperti biasa.

”Kami sudah tahu Mahkamah Konstitusi menghapuskan sekolah RSBI. Bagi kami, tak ada pengaruhnya apa-apa,” kata Andre Setyawan (15), salah satu murid kelas IXA SMP Negeri 1 Kota Cirebon, Rabu (9/1).

Mahkamah Konstitusi hari Selasa memutuskan Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bertentangan dengan konstitusi. Sebagai konsekuensinya, tentu saja 1.305 sekolah berlabel RSBI, mulai dari SD, SMP, SMA, dan SMK, harus dihapus.

Di DKI Jakarta, 49 sekolah berlabel RSBI langsung menghapus label RSBI di sekolah mereka. Sekolah itu terdiri dari 8 SD, 15 SMP, 10 SMA, dan 16 SMK. ”Ini hasil kesepakatan pimpinan sekolah,” kata Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto.

Namun, di kota-kota lainnya, keputusan MK tersebut ditanggapi dengan berbeda-beda. Ada orangtua yang bingung mengenai masa depan anaknya karena saat ini semester genap sedang berjalan, tetapi ada juga yang tak peduli.

Kepala sekolah dan guru juga ada yang bingung. ”Kami masih menunggu petunjuk dari dinas pendidikan soal kelanjutan status RSBI,” kata Kepala SMP Negeri 1 Kudus Oky Sudarto.

Sejumlah kepala sekolah dan guru juga bingung soal kelanjutan uang tunjangan bulanan bagi guru di sekolah RSBI. Kepala sekolah juga bingung membayar tagihan listrik bulanan untuk pendingin ruangan (AC) yang sudah terpasang di kelas-kelas RSBI.

”Biaya bulanan listrik yang semula sekitar Rp 6 juta membengkak menjadi sekitar Rp 30 juta per bulan setelah fasilitas pendidikan dan laboratorium terpasang,” kata Kepala SMA Negeri 1 Solo M Thoyibun.

Selama ini, sekolah berstatus RSBI diperbolehkan memungut uang dari orangtua siswa dengan alasan untuk meningkatkan mutu sekolah. Jumlahnya beragam. Untuk uang masuk, misalnya, ada yang Rp 2 juta, tetapi ada juga yang di atas Rp 30 juta. Adapun uang sumbangan penunjang pendidikan (SPP) ada yang Rp 350.000 per bulan, ada pula yang di atas Rp 1,4 juta per bulan.

Sebagian uang tersebut dipakai untuk membangun berbagai fasilitas sekolah serta membayar rekening listrik dan air. Uang itu juga untuk membangun laboratorium, memasang AC, membeli kurikulum dari sejumlah negara maju, hingga uang tunjangan guru dan untuk membayar guru-guru ”kontrak” warga negara asing yang pasti fasih berbahasa Inggris.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com