Memang tak salah mengambil kebaikan penyelenggaraan pendidikan di negara lain. Akan tetapi, mencontoh bulat-bulat penyelenggaraan pendidikan mereka, bahkan membeli kurikulum itu, adalah bentuk ketidakpercayaan diri sebagai bangsa.
Pertimbangan kedua adalah strategi mencapai pendidikan bermutu. Pemerintah mengklaim RSBI/SBI merupakan strategi tepat untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Asumsinya, sekolah RSBI/SBI akan menjadi contoh bagi sekolah lain dalam peningkatan mutu. Jadi, mutu pendidikan meningkat manakala semakin banyak RSBI/ SBI di Indonesia.
Sayangnya, asumsi ini ternyata keliru. Alih-alih jadi contoh, RSBI justru mempertajam diskriminasi antarsekolah di Indonesia. RSBI menjadi eksklusif karena mendapat berbagai keistimewaan dalam berbagai kebijakan, fasilitas, anggaran, dan sumber daya pendidikan lainnya. Sekolah eks RSBI dibolehkan menarik pungutan, sedangkan hal tersebut justru dilarang dilakukan oleh sekolah non-RSBI.
Tidak hanya mempertajam diskriminasi antarsekolah, sekolah eks RSBI juga memicu diskriminasi antarwarga negara. Sekolah eks RSBI hanya bisa diakses warga negara cerdas dan dari keluarga dengan pendapatan menengah-atas. Sementara warga negara usia sekolah yang kurang cerdas dan memiliki kemampuan ekonomi menengah bawah kesulitan mengakses sekolah ini. Pemerintah seharusnya mengurangi kesenjangan sosial antarwarga negara, tetapi justru menjadi aktor utama penyebab kesenjangan melalui penyelenggaraan RSBI.
Memang banyak sekolah mencontoh sekolah RSBI, tetapi sayangnya bukan mencontoh perbaikan mutu sekolah. Banyak sekolah berebut status RSBI karena hanya ingin mendapatkan keistimewaan RSBI, sementara mutunya tetap sama. Sebuah SMA RSBI di Jakarta bisa mengelola anggaran mencapai Rp 17 miliar setahun. Kepala sekolah bisa mendapatkan pendapatan tambahan di luar gaji sebagai PNS berkisar Rp 20 juta sampai Rp 35 juta per bulan dari uang yang dipungut dari masyarakat. Dana ini belum termasuk bonus rekreasi ke luar negeri sebagai bagian kerja sama sekolah tersebut dengan sekolah di luar negeri.
Transisi atau bersiasat?
Mendikbud menyatakan, sekolah eks RSBI memasuki masa transisi sejak putusan MK sampai akhir tahun ajaran 2012/2013. Kegiatan pembelajaran berlangsung biasa, sekolah dibolehkan menarik pungutan yang ditetapkan. Bahkan, Mendikbud akan mengeluarkan edaran terkait hal ini karena telah bertemu Ketua MK Mahfud MD.
Sejak MK menetapkan Pasal 50 Ayat (3) UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD 1945, sejak itu pula semua kebijakan, peraturan perundangan, program, dan kegiatan terkait dengan RSBI berhenti. Semua hal ini tidak memiliki dasar hukum lagi. Begitu juga dengan transisi eks RSBI juga tak punya dasar hukum karena dibuat hanya karena pertemanan dua pejabat.
Penghentian seluruh program RSBI tidak akan mengganggu mutu sekolah. Mengapa? RSBI hanyalah program tambahan di sekolah. Seperti yang disampaikan sebelumnya, RSBI dirumuskan sebagai RSBI/SBI > SSN + kurikulum internasional. Dengan demikian, jika kurikulum internasional dihapuskan, maka RSBI/SBI > SSN.
Pemerintah tidak perlu repot menyusun kebijakan baru terkait penghapusan RSBI. Jika pemerintah memang patuh terhadap konstitusi, tak perlu waktu lama untuk menyusun dan menetapkan peraturan penghentian seluruh program RSBI di semua satuan pendidikan, serta perubahan satuan pendidikan eks RSBI jadi satuan pendidikan berstandar nasional. Jika program RSBI tetap dipaksakan dijalankan sampai akhir tahun ajaran, kemudian disiasati jadi rumusan baru tetapi prinsip dan semangatnya tetap sama, hal itu dapat dinilai sebagai pembangkangan atas UUD 1945.